rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Selasa, 11 Januari 2011

Puisi-puisi Tentang Alex R. Nainggolan

Insomnia
i/
aku berjalan pada malam orang yang tidur
dalam nyenyaknya dengkur
memetik bunga mimpi mereka
yang berguguran
tapi selalu saja ada yang gagal
aku kumpulkan
serpihan luka menganga
pada setiap mimpi buruk
tak mampu kubingkai...
ii/
barangkali masih ada remah percakapan
untuk menemaniku sekadar memejam mata
namun melulu kenangan yang melambai
menghembus serupa hujan
membasahi sudut-sudut kenang
dan engkau duduk sendirian di sana
iii/
kirimkan aku sebuah isyarat
supaya mimpi ini tak makin pekat
mungkin ada yang bisa kurawat
(semacam kembang di halaman)

di kota ini aku melulu kehilangan
bahkan untuk sekadar mimpi
iv/
jika engkau bertemu denganku pada jadwal tidur yang lain;
apakah engkau akan menegurku?
maka kita akan berkisah tentang peristiwa yang ringan
semacam alir air yang mengalir di kali hitam
atau pedagang rambutan yang berjualan di pasar pagi
begitu merah dan menggoda
semacam bibirmu
v/
apakah ada mimpimu yang bersembunyi di kepalaku?
namun kantuk ini tak selesai kukenal
acap gagal kuhapal
Jakarta, Januari 2008
Seperti Pertama Kali
seperti pertama kali engkau kusentuh
ada yang tertinggal di pembuluh dadaku
juga getaran yang sama
saat kukecup kulitmu
menepikan ketakutanku
lalu membesarkan nyaliku sebagai lelaki
betapa engkau ingin selalu kupuja
tanpa jenuh
telah kaulecut setiap kesadaranku
menyadarkan dengan penuh sebagai lelaki di sampingmu
mendampingi meski tahun-tahun terkelupas
dipenuhi kejenuhan
Jakarta, 1 Januari 2008
Hariku, Harimu
hariku adalah harimu
setiap detik yang melangkah
turut pula menuntun diriku
ke sebuah tempat
yang penuh dengan imaji
dengan ratusan kalimat puisi
dari diksi yang wangi
tak pernah bisa kutipu hatiku
bila melulu tertuju padamu
setiap lelah
hariku adalah harimu
ketika engkau terlelap
aku turut pula memasuki lorong-lorong mimpi
yang lebat dengan hijau rumput
dimana kita tertawa
menyimak angin yang menerjang ilalang
hingga jadi dingin
tapi segalanya hangat oleh kecupanmu
seperti sinar matahari pagi yang jatuh
pertama kali di dedaun
1 Januari 2008
Januari 2008
selamat tinggal terompet
biarkan engkau jadi tiupan usang
bersama desember
bunyimu sudah cukup
tidak lagi asik
ketika januari melangkah
meninggalkan sedikit ruang untuk berbenah
Jakarta, 2008
Aku Tak Lagi Bertanya
  - bagi acep zam-zam noor
aku tak lagi bertanya padamu, wahai penyair
mengapa makin banyak puisi yang ditulis nyinyir
sebab kulihat engkau begitu kesepian
menelan semua peristiwa luka
dengan diksi-diksi yang meraung
penuh murung
mengapa juga kita sering mendapati anak-anak kecil
tidur di jalan, tanpa identitas
wajah-wajah mungil yang hilang tanpa kabar
mungkin dimutilasi setelah disodomi
sebab kita hidup di negeri yang penuh kamar neraka
tak mampu sembunyi
begitu banyak kita hidupkan lagi lucifer-lucifer baru
mengapa orang-orang enggan bertegur sapa
ketika mengantri minyak tanah
tak perlu kenal kerabat
sebab begitu cepat harga melambung
mencekik leher sampai sekarat
aku tak lagi bertanya padamu, duh, penyairku!
mengapa puisi tak lagi dipenuhi imaji atau teka-teki
hanya serapah yang menyalak di sepanjang negeri
siap menggelegak
seperti para serdadu yang masih gemar menembak
asal-asal kemudian ada peluru nyasar di tempurung kepala bayi
mengapa para pemimpin lebih suka tampil di televisi
dengan pakaian safari yang berwarni
lalu berpidato dengan banyak deheman
juga mengapa para artis lebih demen  kawin-cerai
dan menampilkan belahan payudara atau paha mereka
juga di televisi
mengapa televisi terus menyihir kita dengan kemilau
dengan kisah-kisah sinetron yang wangi
mengapa juga para cerpenis dan penyair suka onani dalam
karya mereka
aku enggan bertanya padamu, hei, penyairku
mengapa di negeri ini ada seseorang yang diracun dalam pesawat terbang
mengapa di negeri ini ada koruptor yang tak bisa masuk ke bui
mengapa para mahasiswa gemar mengisap sabu
mengapa judi bisa cepat akrab hingga ke kampung-kampung
mengapa ada maling ayam yang dihukum dengan cara dibakar
aku tak lagi bertanya padamu, oh..penyairku
sebab syair-syair sekarang tak perlu penuh dengan
gemintang, lebat hujan, pohon mahoni,  atau rembulan yang bersinar lagi *)
melainkan sama dengan para artis itu
dengan setumpuk gunjing, belahan payudara, paha, atau batang penis
dan aku tak perlu meringis padamu, penyairku
terlebih lagi menangis
bukankah segalanya telah kautulis?
jika puisi tak lagi mampu menyembuhkan semuanya
sebagaimana seorang buruh pabrik yang tiba-tiba diputus kerjanya
sebagaimana seorang warga miskin sulit
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit
sebagaimana pemuda-pemudi yang asik jingkrak di diskotik jam dua pagi
tanpa sadar hingga mulut berbusa
aku enggan bertanya padamu, hei, penyairku
terlalu banyak hal yang menyilet dada
hingga tak selesai kautorehkan dalam puisi
apalah arti puisi?
mengapa banyak makna kata yang hilang di dalamnya
tapi, bukankah kau telah menuliskan segalanya?

Jakarta, 24 Januari 2008
*) ingatan dari lirik sebuah lagu yang saya lupa penciptanya
Sarapan Pagi
sarapan pagiku hanya gegas langkah orang-orang berangkat kerja
terkadang pula jeritan tetangga sebelah
bertikai pada kenyataan yang pahit
dengan amarah yang kerap melilit
meski masih ada cahaya matahari
mengusir sunyi pada bekas-bekas embun di batang pohon
meski ada suara bayi yang tertawa
menyambut pagi
berlarian di beranda
sarapan pagiku hanya berita-berita ngeri  di layar televisi
atau hamparan diksi dengan anyir darah di halaman surat kabar
meski masih ada senyum sang istri
sekadar mengantarku untuk menjejakkan kaki
terlibat dalam keramaian
tumpah-ruah dalam jadwal rutin kehidupan
Jakarta, 29 Januari 2008
Buah Kita
berhari-hari kita tanam buah kita
dan ia terasa ranum dan matang
bertahan pada sejumlah kenang
menggapai harap yang terlupa
mungkin kita telah lama menyemainya
agar ia tumbuh dan dewasa
menyimpan semua masalalu hingga berdebu
berharap hujan menjemputnya
Jakarta, 29 Januari 2008
Engkau Duduk di Sudut
engkau duduk di sudut
seperti ingin merenggut segalanya
kejadian demi kejadian
yang membuat kita semaput
engkau duduk di sudut
seperti ingin menjemput
segala sunyi yang lama berdiam
di dalam hari
lalu kaubungkus kegelisahan itu
merebutnya dengan perlahan
agar tak sampai kepadaku
sebab cemas itu memang bukan buatku
bukan milik kita
Jakarta, 29 Januari 2008
Bayangan
ada yang mampu menipu
di muka cermin
bukan sejati
namun sunyi kembali
mengambil nyali
terapung
bagai masalalu berkabung
tetap saja menguntit
diam pada setiap sakit
hingga engkau menjerit
"pergilah engkau jauh. aku sudah terlalu jenuh.
untuk selalu memujimu. dengan panorama senja yang membeku."
namun ia terus datang
semacam lonceng jam yang berdentang
Jakarta, Januari 2008
Setelah Hujan
hanya getar udara basah
membawa jubah
untuk sembunyi
pada sunyi
30 Januari 2008
Banjir Sendiri

kembali aku terjebak banjir sendiri
tahu arah pulang
tapi jadi lintang-pukang
di sebuah kota yang tak pernah bisa
untuk sekadar menyimpan masalalu
sejarah yang dianggap sepintas lalu
banjir sendiri
di keramaian orang-orang
menjelma jadi pejalan kaki
lewati parit-parit
lintasi sungai-sungai baru
di jalan raya
wajah-wajah yang kosong
amarah yang pecah
hujan yang terasa semakin panjang
banjir sendiri
terasa sepi itu merenggut dengan diam
di kerumunan
hanya orang-orang
menanti
kapan aliran ini akan susut?
banjir sendiri
sebuah sms di ponsel bergetar
dari seorang kawan,
"hujan, lex. membius! seperti dalam puisi."
kubalas: "tapi terasa ganas. begitu cemas."
banjir sendiri
harum rumah di depan mata
tapi jalan pulang
terasa sulit untuk dipegang
setiap ruas jalan berpalang
dengan cecabang sungai
yang coklat dan hitam
tercerai dan legam
Jakarta, 1 Februari 2008
Hujan Februari
hujan februari
mengusik nyali
langit hitam
angin bergulung
aku menggambar mimpi
mungkin masih ada tempat singgah
teduh dari hujan yang penuh raung
hujan februari
menyemai takut
tak bisa kuriangkan hati
untuk sembunyi dari kalut
nyatanya air begitu semaput
membuat kulit kaki keriput
dingin yang tak bisa jadi selimut
sampai tubuh mengkerut
semoga bukan sengkarut!
Jakarta, 1 Februari 2008
Jumat yang Berat
jumat terasa berat
hujan terlalu banyak
tak bisa ditampung
bahkan dalam ingatan
raut wajah gelisah
semakin runcing
ketika air nelusup
ke celah rumah
tubuh merinding
merupa kepinding
jumat terasa berat
memikul beban sekarat
Jakarta, 1 Februari 2008
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung  (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer