rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Rabu, 26 Januari 2011

cinta dan motivasi

Cinta dan motivasi jelas memiliki hubungan yang erat. Cinta adalah motivasi yang paling kuat. Cinta adalah penggerak hati, pikiran, dan tindakan. Seseorang akan merasa tergerak hatinya saat sesuatu yang dicintainya disebutkan. Cinta menggerakan pecinta untuk mencari yang dicintainya.
Objek cinta itu begitu banyak. Mereka adalah ujian bagi kita semua. Cinta terhadap lawan jenis, cinta terhadap keluarga, cinta terhadap harta benda, cinta terhadap tanah air, dan cinta terhadap hal-hal lainnya.
Namun tahukah bagi Anda, bahwa cinta itu adalah tawanan?









Cinta Itu Adalah Tawananhttp://www.motivasi-islami.com/cinta-dan-motivasi/

Apa yang dimaksud bahwa cinta itu adalah tawanan? Siapa yang ditawan? Cinta menawan hati. Sebab hati akan tunduk demi mengejar apa yang dicintainya. Banyak sekali orang yang rela melakukan apa pun demi yang dicintainya. “Gunung kan kudaki, lautan akan kusebrangi.” begitu kata syair yang menggambarkan bagaimana hati tertawan oleh cintanya kepada kepada seorang gadis pujaan. Lihatlah… banyak orang yang melakukan segala cara untuk mendapatkan harta dan jabatan. Yang haram dihalalkan, apa pun dilakukan demua cintanya kepada harta dan jabatan.
Cinta selalu menggerakkan hati pada apa yang dia inginkan. Keinginan diri inilah yang disebut dengan hawa nafsu. Sehingga dengan cinta ia menjadikan hatinya sebagai tawanan hawa nafsu, mengikuti apa yang dikatakan hawa nafsu dan menjadikan hawa nafsu dengan pimpinannya dalam hidup. Sehingga masuklah dia ke dalam fintah syahwat, yang menghalangi hatinya dari petunjuk dan rahmat.

Minggu, 23 Januari 2011

saya berbelanja maka saya ada


Judul buku : Saya Berbelanja Maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris
Penulis : Haryanto Seodjatmiko
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : 118 halaman

Salah satu aktivitas paling penting yang membedakan manusia modern dengan pendahulunya yang primitif adalah belanja. Diakui atau tidak, pada masa ini, berbelanja tidak lagi merupakan aktivitas ekonomi demi pemenuhan kebutuhan saja. Berbelanja telah menjadi laku kultural yang memiliki kontribusi penting dalam pembentukan identitas kita sebagai makhluk sosial. Manusia kontemporer, suka atau tidak, adalah “manusia belanja”.

Jean Baudrillard pernah memaklumatkan hadirnya sebuah “masyarakat baru” yang ditandai dengan makin pentingnya makna konsumsi dalam kehidupan sosial. Alih-alih hanya merupakan tindak memenuhi kebutuhan, konsumsi adalah proses yang menandai diferensiasi dalam masyarakat. Baudrillard menyebut, di dalam sebuah “masyarakat konsumer”, konsumsi berperan sebagai sebuah “sistem diferensiasi” yang membeda-bedakan masyarakat ke dalam kategori-kategori tertentu.

Buku karya Haryanto Soedjatmiko ini merupakan studi tentang laku konsumsi dalam kebudayaan kontemporer. Studi Haryanto diawali dengan telaah tentang perkembangan proses konsumsi yang dikaitkan dengan tindak pemenuhan kebutuhan manusia sampai kemunculan konsumerisme sebagai cara hidup (a way of life).

Sejak awal abad 18 di Inggris, mulai tampak sebuah masyarakat yang lebih berorientasi pada kepemilikan benda-benda yang up to date daripada materi-materi yang tahan lama. Gejala ini dilihat Haryanto sebagai asal mula sebuah fenomena yang sering disebut sebagai “konsumerisme”. Peningkatan kapasitas konsumsi masyarakat Inggris pada 1880-1980-an juga menjadi titik penting yang menandai penyemaian “budaya belanja” dalam masyarakat.

Setelah tahun-tahun itu, berbarengan dengan peningkatan teknologi dan pertumbuhan penduduk yang cenderung berkonsentrasi di daerah-daerah urban, daya belanja masyarakat terus bertambah. Secara khusus, setelah Perang Dunia II, sebuah pasar massa barang-barang konsumsi telah terbentuk. Sejak tahun 1980-an, seperti disampaikan Martyn J. Lee di dalam Consumer Culture Reborn (1993), telah terjadi perubahan global yang berakibat terbentuknya “budaya konsumsi”.

Sejumlah perubahan global yang disebut Martyn J. Lee menyebabkan maraknya perbincangan mengenai wacana konsumsi antara lain: (1) pertumbuhan teknologi komputer; (2) internasionalisasi perdagangan yang membuka pasar bebas antar negara; (3) kemajuan teknologi produksi imaji atau citra yang berpegang pada estetika bentuk; (4) perkembangan dalam sistem produksi yang membawa tambahan kemakmuran bagi kelas pekerja; dan (5) munculnya wacana posmodern dalam bidang seni dan akademik.

Pada perkembangan yang lebih lanjut, budaya konsumsi masuk ke dalam berbagai ranah sosial dalam masyarakat. Dalam buku ini, Haryanto menunjuk sejumlah ranah yang telah dimasuki oleh budaya konsumsi, seperti teknologi informasi, musik, dan olahraga. Perkembangan lebih jauh juga menunjukkan bahwa laku konsumsi atau belanja menjadi makin penting dalam relasi sosial manusia.

Mike Featherstone menyatakan, pada akhirnya konsumsi secara alamiah akan membentuk identitas bagi tiap individu dalam masyarakat. Pada masa sekarang, perbedaan dalam aktivitas berbelanja memang bisa mengakibatkan diferensiasi identitas antarindividu. Mereka yang membeli produk mewah tentu akan memiliki identitas berbeda dengan orang yang hanya mampu mengonsumsi produk kelas bawah. Seperti judul buku ini, berbelanja memang menjadi sebuah aktivitas yang bisa menegaskan eksistensi kita sebagai manusia. Kita berbelanja maka kita ada!

Paradoks
Salah satu yang paling menarik dari buku ini adalah telaah mengenai paradoks yang terkandung dalam konsep konsumerisme. Pada mulanya, konsumerisme berkaitan dengan sebuah upaya untuk ikut menyertakan pandangan para konsumen terhadap proses produksi barang. Dalam The Concise Oxford Dictionary, term konsumerisme diartikan sebagai “perlindungan kepada minat para konsumen terhadap produsen”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti nomor satu konsumerisme adalah “gerakan/kebijakan melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan”.

Dilihat dari sisi ini, konsumerisme menawarkan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk yang mereka sukai sekaligus memberikan pendapat pada produsen tentang barang yang mereka inginkan. Namun dalam praktiknya, wacana kebebasan yang disuarakan oleh konsumerisme tahap awal ini hanyalah sebuah retorika. Secara substansial, kebebasan konsumen tak pernah benar-benar ada. Haryanto mengatakan, para konsumen lebih sering digiring kepada sebuah tujuan yang telah ditetapkan oleh para produsen.

Alih-alih memenuhi keinginan para konsumen tentang produk yang mereka inginkan, para produsen lebih sering melakukan “pendiktean” terhadap konsumen tentang produk apa yang seharusnya mereka beli. Salah satu aspek penting dari upaya “pendiktean” ini adalah dengan melakukan pembaharuan terus-menerus dalam hal desain produk. Haryanto menyebut, perkembangan teknologi desain produk menjadi salah satu faktor kunci perkembangan konsumerisme.

Sebagai sebuah pengantar, buku ini bisa membawa kita menjelajahi sejumlah tema berkait dengan konsumsi dan konsumerisme. Meski masih belum bisa disebut komprehensif, paling tidak karya ini membuat kita sadar bahwa aktivitas berbelanja pada masa ini ternyata memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan kita. Berbelanja bisa menjadi sebuah aktivitas penegasan identitas dan eksistensi. Kita berbelanja maka kita ada!
Haris Firdaus

Selasa, 11 Januari 2011

Puisi-puisi Tentang Alex R. Nainggolan

Insomnia
i/
aku berjalan pada malam orang yang tidur
dalam nyenyaknya dengkur
memetik bunga mimpi mereka
yang berguguran
tapi selalu saja ada yang gagal
aku kumpulkan
serpihan luka menganga
pada setiap mimpi buruk
tak mampu kubingkai...
ii/
barangkali masih ada remah percakapan
untuk menemaniku sekadar memejam mata
namun melulu kenangan yang melambai
menghembus serupa hujan
membasahi sudut-sudut kenang
dan engkau duduk sendirian di sana
iii/
kirimkan aku sebuah isyarat
supaya mimpi ini tak makin pekat
mungkin ada yang bisa kurawat
(semacam kembang di halaman)

di kota ini aku melulu kehilangan
bahkan untuk sekadar mimpi
iv/
jika engkau bertemu denganku pada jadwal tidur yang lain;
apakah engkau akan menegurku?
maka kita akan berkisah tentang peristiwa yang ringan
semacam alir air yang mengalir di kali hitam
atau pedagang rambutan yang berjualan di pasar pagi
begitu merah dan menggoda
semacam bibirmu
v/
apakah ada mimpimu yang bersembunyi di kepalaku?
namun kantuk ini tak selesai kukenal
acap gagal kuhapal
Jakarta, Januari 2008
Seperti Pertama Kali
seperti pertama kali engkau kusentuh
ada yang tertinggal di pembuluh dadaku
juga getaran yang sama
saat kukecup kulitmu
menepikan ketakutanku
lalu membesarkan nyaliku sebagai lelaki
betapa engkau ingin selalu kupuja
tanpa jenuh
telah kaulecut setiap kesadaranku
menyadarkan dengan penuh sebagai lelaki di sampingmu
mendampingi meski tahun-tahun terkelupas
dipenuhi kejenuhan
Jakarta, 1 Januari 2008
Hariku, Harimu
hariku adalah harimu
setiap detik yang melangkah
turut pula menuntun diriku
ke sebuah tempat
yang penuh dengan imaji
dengan ratusan kalimat puisi
dari diksi yang wangi
tak pernah bisa kutipu hatiku
bila melulu tertuju padamu
setiap lelah
hariku adalah harimu
ketika engkau terlelap
aku turut pula memasuki lorong-lorong mimpi
yang lebat dengan hijau rumput
dimana kita tertawa
menyimak angin yang menerjang ilalang
hingga jadi dingin
tapi segalanya hangat oleh kecupanmu
seperti sinar matahari pagi yang jatuh
pertama kali di dedaun
1 Januari 2008
Januari 2008
selamat tinggal terompet
biarkan engkau jadi tiupan usang
bersama desember
bunyimu sudah cukup
tidak lagi asik
ketika januari melangkah
meninggalkan sedikit ruang untuk berbenah
Jakarta, 2008
Aku Tak Lagi Bertanya
  - bagi acep zam-zam noor
aku tak lagi bertanya padamu, wahai penyair
mengapa makin banyak puisi yang ditulis nyinyir
sebab kulihat engkau begitu kesepian
menelan semua peristiwa luka
dengan diksi-diksi yang meraung
penuh murung
mengapa juga kita sering mendapati anak-anak kecil
tidur di jalan, tanpa identitas
wajah-wajah mungil yang hilang tanpa kabar
mungkin dimutilasi setelah disodomi
sebab kita hidup di negeri yang penuh kamar neraka
tak mampu sembunyi
begitu banyak kita hidupkan lagi lucifer-lucifer baru
mengapa orang-orang enggan bertegur sapa
ketika mengantri minyak tanah
tak perlu kenal kerabat
sebab begitu cepat harga melambung
mencekik leher sampai sekarat
aku tak lagi bertanya padamu, duh, penyairku!
mengapa puisi tak lagi dipenuhi imaji atau teka-teki
hanya serapah yang menyalak di sepanjang negeri
siap menggelegak
seperti para serdadu yang masih gemar menembak
asal-asal kemudian ada peluru nyasar di tempurung kepala bayi
mengapa para pemimpin lebih suka tampil di televisi
dengan pakaian safari yang berwarni
lalu berpidato dengan banyak deheman
juga mengapa para artis lebih demen  kawin-cerai
dan menampilkan belahan payudara atau paha mereka
juga di televisi
mengapa televisi terus menyihir kita dengan kemilau
dengan kisah-kisah sinetron yang wangi
mengapa juga para cerpenis dan penyair suka onani dalam
karya mereka
aku enggan bertanya padamu, hei, penyairku
mengapa di negeri ini ada seseorang yang diracun dalam pesawat terbang
mengapa di negeri ini ada koruptor yang tak bisa masuk ke bui
mengapa para mahasiswa gemar mengisap sabu
mengapa judi bisa cepat akrab hingga ke kampung-kampung
mengapa ada maling ayam yang dihukum dengan cara dibakar
aku tak lagi bertanya padamu, oh..penyairku
sebab syair-syair sekarang tak perlu penuh dengan
gemintang, lebat hujan, pohon mahoni,  atau rembulan yang bersinar lagi *)
melainkan sama dengan para artis itu
dengan setumpuk gunjing, belahan payudara, paha, atau batang penis
dan aku tak perlu meringis padamu, penyairku
terlebih lagi menangis
bukankah segalanya telah kautulis?
jika puisi tak lagi mampu menyembuhkan semuanya
sebagaimana seorang buruh pabrik yang tiba-tiba diputus kerjanya
sebagaimana seorang warga miskin sulit
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit
sebagaimana pemuda-pemudi yang asik jingkrak di diskotik jam dua pagi
tanpa sadar hingga mulut berbusa
aku enggan bertanya padamu, hei, penyairku
terlalu banyak hal yang menyilet dada
hingga tak selesai kautorehkan dalam puisi
apalah arti puisi?
mengapa banyak makna kata yang hilang di dalamnya
tapi, bukankah kau telah menuliskan segalanya?

Jakarta, 24 Januari 2008
*) ingatan dari lirik sebuah lagu yang saya lupa penciptanya
Sarapan Pagi
sarapan pagiku hanya gegas langkah orang-orang berangkat kerja
terkadang pula jeritan tetangga sebelah
bertikai pada kenyataan yang pahit
dengan amarah yang kerap melilit
meski masih ada cahaya matahari
mengusir sunyi pada bekas-bekas embun di batang pohon
meski ada suara bayi yang tertawa
menyambut pagi
berlarian di beranda
sarapan pagiku hanya berita-berita ngeri  di layar televisi
atau hamparan diksi dengan anyir darah di halaman surat kabar
meski masih ada senyum sang istri
sekadar mengantarku untuk menjejakkan kaki
terlibat dalam keramaian
tumpah-ruah dalam jadwal rutin kehidupan
Jakarta, 29 Januari 2008
Buah Kita
berhari-hari kita tanam buah kita
dan ia terasa ranum dan matang
bertahan pada sejumlah kenang
menggapai harap yang terlupa
mungkin kita telah lama menyemainya
agar ia tumbuh dan dewasa
menyimpan semua masalalu hingga berdebu
berharap hujan menjemputnya
Jakarta, 29 Januari 2008
Engkau Duduk di Sudut
engkau duduk di sudut
seperti ingin merenggut segalanya
kejadian demi kejadian
yang membuat kita semaput
engkau duduk di sudut
seperti ingin menjemput
segala sunyi yang lama berdiam
di dalam hari
lalu kaubungkus kegelisahan itu
merebutnya dengan perlahan
agar tak sampai kepadaku
sebab cemas itu memang bukan buatku
bukan milik kita
Jakarta, 29 Januari 2008
Bayangan
ada yang mampu menipu
di muka cermin
bukan sejati
namun sunyi kembali
mengambil nyali
terapung
bagai masalalu berkabung
tetap saja menguntit
diam pada setiap sakit
hingga engkau menjerit
"pergilah engkau jauh. aku sudah terlalu jenuh.
untuk selalu memujimu. dengan panorama senja yang membeku."
namun ia terus datang
semacam lonceng jam yang berdentang
Jakarta, Januari 2008
Setelah Hujan
hanya getar udara basah
membawa jubah
untuk sembunyi
pada sunyi
30 Januari 2008
Banjir Sendiri

kembali aku terjebak banjir sendiri
tahu arah pulang
tapi jadi lintang-pukang
di sebuah kota yang tak pernah bisa
untuk sekadar menyimpan masalalu
sejarah yang dianggap sepintas lalu
banjir sendiri
di keramaian orang-orang
menjelma jadi pejalan kaki
lewati parit-parit
lintasi sungai-sungai baru
di jalan raya
wajah-wajah yang kosong
amarah yang pecah
hujan yang terasa semakin panjang
banjir sendiri
terasa sepi itu merenggut dengan diam
di kerumunan
hanya orang-orang
menanti
kapan aliran ini akan susut?
banjir sendiri
sebuah sms di ponsel bergetar
dari seorang kawan,
"hujan, lex. membius! seperti dalam puisi."
kubalas: "tapi terasa ganas. begitu cemas."
banjir sendiri
harum rumah di depan mata
tapi jalan pulang
terasa sulit untuk dipegang
setiap ruas jalan berpalang
dengan cecabang sungai
yang coklat dan hitam
tercerai dan legam
Jakarta, 1 Februari 2008
Hujan Februari
hujan februari
mengusik nyali
langit hitam
angin bergulung
aku menggambar mimpi
mungkin masih ada tempat singgah
teduh dari hujan yang penuh raung
hujan februari
menyemai takut
tak bisa kuriangkan hati
untuk sembunyi dari kalut
nyatanya air begitu semaput
membuat kulit kaki keriput
dingin yang tak bisa jadi selimut
sampai tubuh mengkerut
semoga bukan sengkarut!
Jakarta, 1 Februari 2008
Jumat yang Berat
jumat terasa berat
hujan terlalu banyak
tak bisa ditampung
bahkan dalam ingatan
raut wajah gelisah
semakin runcing
ketika air nelusup
ke celah rumah
tubuh merinding
merupa kepinding
jumat terasa berat
memikul beban sekarat
Jakarta, 1 Februari 2008
Tentang Alex R. Nainggolan
Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, On/Off, dll.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah terakhir di Radar Lampung  (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005).

Sabtu, 08 Januari 2011

harapan di ujung tinta

Perjalanan hidup seorang yang mungkin kita kenal disekitar kita Dan yang pasti ada kesan tersendiri Aku adalah hanya manusia biasa tak lain hanya orang bodoh dan aq berharap hidupku bisa berubah karena ku yakin roda kehidupan kan terus berputar..,. Aq belajar dari orang-yang lebih tau daripada aku meski aku hanyalah seorang penggemar mereka

Entah kenapa kehidupan disekitar kita hanya begitu-begitu saja tk ada prubahan, kulihat orang-orang disekitarku, mereka terima cukup sekolah tamat tingkat pertama Dengan keahlian yang mereka punya dan pendidikan seadanya rela bekerja jadi apa saja tak lain seorang buruh dan sangat menggemari musik melayu, Harapan mereka kerja dan kerja dan meraih sesuatu yang bias dipamerkan ataupun dibanggakan,,, Mungkin dengan terpenuhinya kebutuhan untuk kehidupan social mereka sudah cukup Tapi bagiku tidak aku selalu mengajak mereka untuk saling berinspirasi jadi lebih baik.

Aku heran kenapa orang-orang itu tak pernah mau untuk jadi lebih baik, ya mungkin saja aku hanya dianggap sampah dan banyak bicara, selalu mengusik kehiupan mereka Padahal aku bermaksud baik, dan mungkin aku juga sering di jadikan omongan karena perbedaan faham, aku sering dihina ataupun dicemooh karena harapanku terlalu berlebihan, tapi aku tetap yakin semua usaha tak kan pernah sia-sia, karena hidup berawal dari mimpi dan semua ituakan bisa terujud asalkan kita bisa belajar dari hal yang kecil, Kadang-kadang aku tersenyum melihat mereka yang terlalu bangga dengan hasil peras keringat seharian dan berfoya-foya di akhir pekan Kalau aku renungkan “apakah aku cukup dengan begini saja, apa aku sudah puas dengan hal yang aku dapatkan saat ini” dan jawabanya “TIDAK” karena aku masih punya mimpi yang belum bisa aku raih. Orang melihat kata-kataku pasti akan tertawa karena mungkin mereka belum bisa meraihnya dan hanya menganggap aku remeh. Tapi aku tak pernah menyimpan dndam sedikitpun meski hatiku sering tersakiti karena aku mengambil dari sisi positifnya.

Perjalananku berawal dari kebersamaan dan aku masih menganggap mereka teman baik meski jalan kita berbeda tipis. Saat bersama mereka aku juga menganggap sama tak jauh beda seprti keluargaku sendiri, saat aku sudah tamat sekolah aku mulai berfikir apa sih tujuan hidupku didunia ini, apakah cukup dengan bekerja mendapatkan hasil bisa buat rumah, kebutuhan materi dan menikah punya anak? Tapi aku belum bisa berfikir sampai disitu, karena aku masih butuh banyak ilmu dan banyak pengeahuan, aku ingin melanjutkan sekolahku untuk jenjang lebih tinggi tapi tak mungkin. karena ayah dan ibuku tak mampu membiayai karena mereka sudah ckup tua, Dan akhirnya aku putuskan pergi keluar kota dengan harapan aku bisa bekerja serta menambah pengetahuanku dan tetap berinspirasi.

Aku bangga bila aku bisa meraih suatu hal yang aku dapat dari hasil usahaku sendiri tidak hanya mengandalkan orang tua Dari situ aku mulai belajar sedikit demi sedikit tentang kehidupan, bahwa hidup adalah perubahan yang selalu berbedabeda setiap orang yang menjalaninya. Dan aq masih tetap jadi diriku sendiri yang sperti ini Inilah aku seorang yang kurang tau dan ingin lebih tau, karena aku juga tidak mau menjadi orng yang pesimis, aku goreskan tinta di dinding ini yang berisikan harapan dan cita-citaku terutama untuk keluargaku, karena keluargaku adalah hidupku. Aku selalu memohon padaNYA agar aku bisa jadi lebih baik dan berguna. Dan kini aku masih berjalan selangkah demi selangkah untuk menggapai semua impianku, Ada banyak hal yang masih bisa aku lakukan setidaknya jadi diri sendiri dan lebih baik. 

                                                                 
efekrumahkaca 'balerina' 
chelistyomy profile 

To be contienue  

Jumat, 07 Januari 2011

Misteri Mona Lisa Terpecahkan


Seorang pengunjung Museum Louvre memotret lukisan Mona
Seorang pengunjung Museum Louvre memotret lukisan Mona Lisa, 
 Agustus 2005.

BERLIN, SELASA - Sejumlah ilmuwan Jerman yakin telah berhasil memecahkan misteri di balik lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci.
Lisa Gherardini, istri saudagar kaya Florentine, Francesco del Giocondo, selama ini diyakini sebagai perempuan yang paling mungkin menjadi model lukisan potret abad 16 itu. Namun para ahli sejarah menduga-duga, perempuan tersenyum itu bisa jadi kekasih, ibu atau da Vinci sendiri.
Sekarang, para ahli di Perpustakaan Universitas Heidelberg mengatakan catatan yang ditulis di pinggiran buku oleh pemiliknya, Oktober 1503, membuktikan bahwa Lisa del Giocondo adalah benar-benar model lukisan paling terkenal di dunia itu.
"Semua keraguan tentang identitas Mona Lisa tersingkir dengan penemuan Dr Armin Schlechter, a manuscript expert," demikian pernyaatan Perpustakaan Universitas Heidelberg, Senin (14/1).
Sejauh ini hanya sedikit bukti yang tersedia dari dokumen-dokumen abad 16. Akibatnya ruang interpretasi terbuka luas dan banyak identitas yang dilekatkan pada Mona Lisa.
Catatan di buku itu dibuat oleh pejabat kota Florentina, Agostino Vespucci, teman dekat da Vinci dalam sebuah koleksi surat oleh orator Rowami, Cicero. Catatan itu membandingkan da Vinci dengan seniman Yunandi Apelles dan menyebutkan bahwa da Vinci saat itu membuat tiga lukisa, salah satunya potret Lisa de Giocondo.
Para pakar seni yang telah menentukan tahun pelukisan Mona Lisa, mengatakan penemuan Heidelberg itu merupakan terobosan penting dan penyebutan awal yang menghubungkan dengan potret istri saudagar itu.
"Tidak perlu ada lagi alasan untuk menyebut ini perempuan lain," kata Frank Zoellner, sejarawan seni dari Universitas Leipzig kepada sebuah radio di Jerman.
Nama Lisa Gherardini sebenarnya sudah dihubungkan dengan lukisan itu sejak 1550 oleh Giorgio Vasari, seorang pejabat Italia, namun pernyataan diragukan karena dibuat lima dekade setelah lukisan itu dibuat.
Catatan di Heidelberg itu sebenarnya sudah dua tahun lalu ditemukan oleh Schlecter. Meski sudah tercantum dalam katalog, namun temuan itu tidak dipublikasikan secara luas sampai seorang penyiar radio Jerman membuat rekaman di perpustakaan itu.
Lukisan yang kini dipajang di Museum Louvre Paris itu juga dikenal dengan sebutan La Gioconda, yang dalam bahasa Italia berarti perempuan yang gembira. Namun bisa juga merujuk pada nama hasil perkawinan perempuan itu.

perjalanan sebuah hati

facebook.comCerpen Rudi Setiawan
Di atas sebuah batu besar berwarna kehitaman, berbaring lemah seekor anjing bermata buta yang bulunya hampir gundul karena borok-borok bernanah diseluruh tubuhnya.
Aku berjalan perlahan mendaki puncak bukit yang di atasnya terdapat bangunan megah serupa istana. Dari kejauhan warnanya nampak kemilau indah memancarkan cahaya, seperti layaknya tatahan intan permata berkilauan, setiap mata pasti kan terpukau bila melihatnya. Di sekililingnya terdapat empat menara tinggi berkubah emas. Bangunan itu seolah magnet yang mempesona sehingga menarik kumparan-kumparan jiwaku untuk bergerak menapak ke sana.
Jalanannya semula landai, namun setelah sekitar seribu langkah kuayun, jalanan tersebut berubah sedikit terjal dan mulai berkelok. Pohon-pohon berdaun rimbun dan berbuah lebat disekeliling jalan, sesekali kunampak tanaman-tanaman bunga tumbuh liar tak beraturan berbaur dengan rerumputan dan rumpun ilalang.
Langit berwarna cerah, meski ada beberapa awan putih bergelayutan serupa sekumpulan domba-domba bebulu putih yang bencengkerama di padang biru. Matahari mulai condong ke barat tetapi sinarnya masih belum menguning. Angin segar dari atas bukit meniupkan aroma wewangian kembang setaman. Sepasang burung Jalak putih hinggap di pucuk pinus, bersiul menyenandungkan kicauan asmara. Aku terus saja berjalan sembari menikmati indahnya alam disekitarku.
Di sebuah tikungan jalan kudapati seorang lelaki kurus kering berbalut baju lusuh dan compang-camping, duduk bersandar dibawah rindangnya pohon Asem, kulit mukanya terlihat pucat dan keriput, bibirnya kering dan pecah-pecah seperti seorang yang telah lama dilanda kelaparan hebat. Kedua kakinya terlihat lemah sepertinya lumpuh. Kuberanikan diriku untuk menyapanya mencoba mencari tahu siapa dirinya.
“Wahai pak tua, siapakah engkau berada sendirian di sebuah perbukitan yang asing ini ?”
Dia tak menjawab, justeru sebaliknya dia bertanya kepadaku:
“Dan kau anak muda siapakah dirimu dan apa sesungguhnya yang sedang kau cari hingga kau mendaki di sini?”
“Ah kau pak tua, kau belum jawab pertanyaanku dan kau justeru bertanya balik kepadaku !” sanggahku sedikit jengkel.
“Aku tak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau jawab pertanyaanku !”, dia balik menyanggah.
“Baiklah-baiklah, akan kujawab dulu pertanyaanmu!” aku akhirnya mengalah.
“Namaku adalah Niat, aku mendaki bukit ini karena hendak menuju istana megah diatas bukit sana “, terangku kepadanya.
“He, he , he!” dia tertawa terkekeh.
“Kau tak akan mampu mendaki kesana, kecuali jika kau mau menggendongku bersamamu pergi kesana!” dia meneruskan katanya sambil terus terkekeh.
“Hah apa?”
“Aku harus menggendongmu pula, sedang untuk berjalan sendiripun kakiku mulai berat sedang didepan sana jalan semakin terjal!” aku menolak keinginannya
“Ketahuilah wahai Niat namaku adalah Ikhlas, aku akan memudahkan dan meringankan jalannmu dalam mendaki bukit ini," dia menerangkan namanya padaku.
“Tidak-tidak, aku tidak akan mau menggendongmu, aku tidak akan melakukannya, aku tak sanggup membawamu," jawabku sambil terus berlalu darinya.
"He, he , he, kau tidak akan mampu Niat, tak akan pernah mampu tanpa bantuanku!” teriaknya sambil terus terkekeh.
Tak kuperdulikan teriakannya, aku terus berjalan menjauhinya menuju puncak bukit yang hendak kutuju.
********
Jalanan benar-benar mulai terjal dan menyempit, sesekali kakiku terpeleset dan terjatuh oleh tanah yang licin, mencoba untuk tegar aku lalu bangkit dan meneruskan perjalanan. Seribu langkah kira-kira telah kuayun hingga aku sampai di tikungan kedua.
Di atas sebuah batu besar berwarna kehitaman, berbaring lemah seekor anjing bermata buta yang bulunya hampir gundul karena borok-borok bernanah diseluruh tubuhnya. Bau busuk menyengat tercium dari boroknya. Aku bergegas menjauh sambil kututup hidungku sebab bau busuk tubuhnya menusuk hidungku.
Diluar dugaan tiba-tiba di berbicara kepadaku,
“Wahai Niat, kenapa kau begitu tergesa-gesa berhentilah sejenak disini, dengarkanlah ceritaku barangkali kau membutuhkanku!”
“Hey bisa bicara rupanya kau, wahai anjing buta berbau busuk!” kataku setengah terperanjat, terheran-heran mendengar anjing yang bisa berbicara.
“Dari mana kau tahu namaku wahai anjing?” tanyaku sambil bergidik karena jijik.
“Tak perlu kau tahu darimana aku tahu namamu, bahkan kemana tujuan perjalananmupun aku telah mengetahuinya," jawabnya datar.
“Jadi kalau kau tahu kemana tujuan perjalananku memangnya apa yang kau inginkan?” tanyakau lagi.
“Dengarlah wahai Niat, namaku adalah Hidayah, aku bisa menuntunmu serta menunjukkan jalan pintas yang terbaik bagimu agar bisa sampai ketujuanmu dengan selamat," dia mencoba menjelaskan.
“Hah bagaimana mungkin kau akan menuntunku sedang matamu sendiripun buta!” sergahku.
“Percayalah aku bisa dan pasti bisa karena ini adalah tugasku," terangnya lagi.
“Aku tidak perlu bantuanmu, mataku awas sedang kau buta, dan lagian aku tak sanggup mencium bau busuk tubuhmu!” dengan tegas aku menolaknya.
Lalu aku ngeloyor pergi sembari terus menutup lubang hidungku, kuabaikan dia memanggil-manggil namaku, aku terus saja berjalan tanpa menoleh lagi.
********
Pendakianku semakin tinggi keatas, angin dari atas bukit mulai keras menerpaku, bersama kabut senja yang gemulai turun merambah lereng-lereng perbukitan. Angin dan kabut berpadu mengirimkan hawa dingin menusuk kulitku. Matahari mulai kemuning pertanda senja sebentar lagi akan beringsut pulang berganti malam datang menjelang.
Aku terus saja berjalan, dingin di kulitku tak kurisaukan, yang ada hanya keinginan kuat agar segera sampai di puncak bukit dan beristirahat di istana megah yang kutuju. Warna kubah menara semakin terlihat kuning keemasan ditimpa oleh sinar matahari yang kemuning, aku benar-benar terpesona kusegerakan langkah mengayun kesana.
Aku terperanjat kaget mendengar sebuah teriakan dari seekor bekicot yang sedang berada di tengah jalan dan hampir-hampir saja tanpa sengaja terinjak oleh kakiku.
“Hei Niat, pelan-pelankanlah jalanmu jangan kau tergesa-gesa!” begitu dia berteriak menegurku.
Lalu aku duduk membungkuk, dengan penuh ketakjuban kuperhatikan tubuh kecil bekicot itu, dan keajaiban apa yang membuatnya bias berbicara layaknya manusia.
“Kau sedang berbicara padaku wahai bekicot kecil?” tanyaku kepadanya.
“Iya aku berbicara padamu karena aku ingin memberikan sebuah nasehat kepadamu!” katanya
“Apa yang hendak kau nasehatkan padaku wahai kawan kecil?” tanyaku lagi.
“Pelan-pelankanlah langkahmu, jangan kau tergesa-gesa, agar kau bisa sepenuhnya menikmati perjalananmu hingga sampai di tujuanmu nanti," begitu nasehatnya padaku.
“Kenapa aku mesti memelankan jalanku, sedang hasratku ingin segera sampai dipuncak bukit ini dan tinggal di istana yang megah menawan itu," bantahku.
“Tenanglah tak perlu tergesa-gesa, kuperkenalkan padamu aku adalah Sabar, berjalanlah bersamaku di sampingku, mari kita nikmati perjalanan ini bersama-sama, lihatlah dan perhatikanlah betapa indah alam disekeliling lereng bukit ini," si bekicot kecil bernama Sabar itu melanjutkan nasihatnya.
“Mana mungkin aku berjalan berdampingan denganmu, kau berjalan begitu lambat, sedang aku ingin segera sampai di istana itu!” aku terus menolaknya.
“Dengarkanlah nasehatku sobat, jikalau kau selalu terburu-buru kau justeru tak akan sampai ke istana itu," dia terus berupaya menasehatiku.
“Tidak, pokoknya aku ingin segera sampai di puncak bukit dan menikmati indahnya istana yang megah itu," sambil berkata demikian lalu aku bergegas pergi, meninggalkan si bekicot kecil itu tertatih-tatih berjalan merambat ditengah jalan.
********
Bangunan serupa istana megah dan indah diatas bukit itu perlahan-lahan mulai terlihat jelas menggoda hatiku, langkahku semakin kupacu tak sabar untuk segera sampai di sana. Kabut tipis putih yang menyelimuti puncak bukit itu tiba-tiba menggumpal-gumpal kehitaman. Semakin lama semakin menebal sehingga jarak pandangku menjadi terhalang. Matahari telah menyusup jatuh ke pembaringannya, langit kemuning berubah menjadi gelap dan hitam. Pandangan mataku semakin kabur dibekap gelap yang pekat.
Aku tetap nekat terus berjalan, hasratku tetap memburu agar segera sampai di istana puncak bukit itu. Dengan bekal naluri yang kupunya kupastikan melangkah ke suatu arah yang kuyakini menuju ke puncak bukit itu. Langkahku kupercepat, tak kuperdulikan segala gelap yang menggelayut didepan mataku. Aku terus berjalan hingga sampai di suatu tempat lamat-lamat kulihat bayangan istana megah itu muncul dibalik awan gelap. Lalu aku berlari dengan kencang menuju bayangan itu. Aku akan sampai, aku akan sampai, aku akan sampai teriakku dalam hati.
Pintu besar istana megah itu samar-samar terlihat dalam temaram, aku terus berlari menuju kearahnya, semakin dekat, semakin dekat, semakin mendekat. Hingga pada akhirnya setiba di depan pintu yang kukira pintu istana itu, akupun meloncat masuk.
Dan……..
Tubuhku seperti terdorong dengan keras, terperosok masuk kedalam lubang besar yang gelap dan pekat. Melayang kencang tersedot dalam pusaran gelap berlapis-lapis. Terus melayang hingga akhirnya terjatuh menghujam dengan deras kedasar jurang. Tubuhku terasa remuk redam, lemah lunglai tak berdaya. Lamat-lamat kudengar suara-suara berbisik ditelingaku, suara-suara yang pernah kudengar sebelumnya, suara-suara itu terus menerus bertalu-talu ditelingaku.
natali
Suara-suara si Ikhlas, suara-suara si Hidayah dan suara-suara si Sabar, silih berganti terngiang-ngiang ditelingaku:
“Bukankah telah kuperingatkan engkau?”
“Bukankah telah kunasehati engkau?”
“Bukankah telah kuberitahu engkau?”
“Mengapa engkau tak mau mendengar?”

Kamis, 06 Januari 2011

mimpi seorang albert einstein


Ilmuwan penemu teori relativitas yang lahir pada 14 Maret 1879 di Ulm, Wüttemberg, Jerman, itu memang Yahudi. Ia berasal dari keluarga pengusaha kecil, kelas menengah berdarah Yahudi-Jerman. Ketika masih kecil, selama beberapa tahun, ia terlibat dalam kegiatan agama, Yudaisme, meski orangtuanya bisa dikatakan tidak beragama. Namun, selepas usia 12 tahun, ia tidak lagi menjalani kehidupan beragama. Ia tidak lagi pergi ke sinagoge.
Enam pekan setelah kelahirannya, keluarganya pindah ke Muenchen. Di kota itulah Einstein sekolah di Luitpold Gymnasium. Kemudian mereka pindah ke Italia dan Albert Einstein melanjutkan sekolah di Aarau, Swiss, dan pada tahun 1896 masuk Sekolah Politeknik Federal Swiss di Zurich. Di sekolah itu ia mengikuti pendidikan guru Fisika dan Matematika.
Kelak kemudian hari, pada tahun 1914, Albert Einstein menjadi warga negara Jerman dan menetap di Berlin. Tetapi, pada tahun 1933, ia melepaskan kewarganegaraannya karena alasan politik dan beremigrasi ke Amerika dan menjadi orang AS.
Setelah Perang Dunia II, ia menjadi tokoh terkemuka dalam Gerakan Pemerintahan Dunia. Albert Einstein berkolaborasi dengan Chaim Weizmann mendirikan Hebrew University di Jerusalem. Boleh jadi karena darah Yahudi serta eratnya hubungan Einstein dengan Weizmann, dan terkenal sebagai ilmuwan, pada tahun 1952 ia ditawari menjadi presiden Israel setelah kematian Weizmann.
Tetapi, apa jawaban Albert Einstein? ”Saya harus mengatakan kepada rakyat Israel hal-hal yang tidak ingin mereka dengar.” Namun, apakah mereka (rakyat Israel) tahu pernyataan yang dikemukakan oleh PM Israel (ketika itu) Ben Gurion: ”Katakan kepada saya, apa yang akan terjadi jika ia (Albert Einstein) mengatakan ya! Saya harus memberikan jabatan itu kepadanya karena memang harus demikian. Tetapi, jika ia menerima, kita semua akan kesulitan.”
Israel, memang, kemudian tanpa Einstein yang menentang gagasan negara Yahudi. Ia menyarankan dua negara di Palestina dengan hak yang sama dan kekuasaan yang sama bagi orang Arab dan Yahudi.
Lima persoalan

Perjalanan konflik antara Palestina dan Israel memang membuat lelah dan bahkan kadang frustrasi. Perang dan perundingan silih berganti mengisi waktu dari tahun ke tahun diselingi pelanggaran hasil perundingan, pelanggaran gencatan senjata entah oleh Israel, entah oleh Palestina.
Persoalan utama tetaplah sama, yakni keamanan, air, Jerusalem, pengungsi, dan perbatasan. Selama lima persoalan tersebut tidak terselesaikan, perdamaian di kawasan itu yang sering disebut sebagai Tanah Suci hanyalah sebuah impian belaka karena tiadanya niat dan kehendak baik untuk mewujudkan perdamaian dari mereka yang terlibat konflik.
Perdamaian juga tidak akan pernah terwujud selama tidak ada saling percaya di antara kedua belah pihak. Bukankah perdamaian berarti kerja sama, persahabatan antarmasyarakat, saling memahami, saling menghormati, saling mengakui keberadaan masing-masing, dan tenggang rasa.
Tanpa semua itu, Tanah Suci tetaplah menjadi mandala perang tidak suci. Dan, damai pun tidak menyinggahinya. Einstein benar, ”perang sudah dimenangkan, tetapi perdamaian tidak”. (Trias Kuncahyono)

saat bicara jarak dalam persahabatan

Seperti hubungan jenis apa pun, dalam persahabatan pun akan ada naik dan turunnya. Akan ada kala persahabatan dirundung masalah. Namun, jika persahabatan itu cukup erat dan berarti, kedua pihak pasti akan terus menjaga dan berusaha memperbaikinya. Jika Anda pernah tanpa sengaja melewatkan hari ulang tahun sahabat, atau menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya, dan kini hubungan persahabatan menjadi renggang, coba ikuti tips berikut untuk merekatkannya kembali.

Tanpa sengaja melupakan ulang tahunnya
Tepat saat Anda menyadari kesalahan Anda karena melupakan tanggal ulang tahunnya, tawarkanlah permintaan maaf, tapi lupakan saja alasannya. Irene Levine, PhD, pengarang Best Friends Forever mengatakan, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun yang isinya permintaan maaf karena melupakan hari jadinya, atau membelikannya hadiah, adalah hal yang cukup baik jika ingin dilakukan. Jika sahabat Anda itu terlalu terpukul karena Anda melupakan tanggal ulang tahunnya, atau sahabat itu terlalu sensitif seputar hari ulang tahun, Anda mungkin akan perlu berusaha lebih keras lagi.

Tak menyukai pasangannya
Merasa risih karena sahabat Anda selalu membawa suaminya ke mana pun, bahkan ketika sedang bersama Anda? Namun, Anda tak tega jika harus mengatakan Anda tak nyaman dengan adanya si suami sahabat. Yang bisa Anda lakukan adalah mengusahakan untuk tidak melibatkan si suami sahabat itu dalam pertemanan Anda. Tak adil bagi sang sahabat jika Anda memaksanya untuk membagi kesetiaannya, apalagi jika ia harus mengetahui bahwa pasangannya bukanlah orang yang Anda sukai. Yang bisa Anda lakukan adalah mengingatkan kepada sang sahabat betapa berartinya persahabatan ini, dan Anda ingin waktu-waktu yang akan Anda habiskan bersamanya hanya “waktu untuk wanita” saja. Apa pun yang akan Anda lakukan, usahakan untuk tidak mengucapkan kata-kata yang buruk tentang pasangannya.

Anda (akan) mengencani mantannya
Di dalam cerita-cerita drama seri, situasi ketika mantan pacar sekarang berhubungan dengan sahabat dan tak ada yang merasa tersakiti bisa saja berhasil. Dalam kehidupan nyata, hal ini akan sangat sulit sekali terwujud. Elaine Zelley, PhD, profesor di LaSalle University di Philadelphia yang mempelajari tentang persahabatan antarwanita mengatakan, situasi seperti ini akan sangat sensitif jika putus hubungannya belum lama terjadi. Meski begitu, hubungan yang sudah lama putus pun akan tetap menggolakkan emosi si sahabat. Jika Anda dan sahabat memiliki hubungan yang sangat erat, Anda bisa mencoba berusaha jujur kepadanya mengenai hubungan Anda yang terjalin dengan mantan si sahabat. Hanya ini cara yang bisa Anda lakukan untuk tetap menjaga persahabatan. Karena jika sampai tahu dari orang lain atau harus menyaksikannya sendiri tanpa ada penjelasan dari Anda, akan terasa lebih berat baginya.

Anda tak ada di sisinya pada saat krusial
Ada saat-saat krusial ketika seorang wanita membutuhkan sahabatnya. Ketika saat itu tiba, dan Anda tak ada dekatnya, jangan coba-coba memberikan alasan yang menjustifikasi keabsenan Anda. Jika Anda mengatakan bahwa saat itu Anda sangat sibuk karena pekerjaan, ini hanya akan membuatnya berpikir bahwa pekerjaan Anda lebih penting dari dirinya. Yang bisa Anda lakukan adalah mengakui bahwa Anda sudah mengecewakannya, dan bahwa Anda menyadari sudah membuat dirinya sedih karena keabsenan Anda. Tanyakan dengan tulus dan rendah hati, apakah ada yang bisa Anda lakukan untuknya. Tergantung seberapa sakitnya si sahabat (dan berapa banyak dukungan yang ia dapat saat itu), mungkin akan butuh waktu yang cukup lama hingga persahabatan Anda bisa kembali seperti semula.

Terlambat datang janji
Hal pertama yang harus Anda lakukan, tentu meminta maafnya, lalu menawarkan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan Anda, misal mentraktirnya makan siang. Jika Anda kerap kali datang terlambat setiap kali berjanji mau bertemu, Anda seakan memberi pesan padanya bahwa waktu yang Anda miliki lebih berharga ketimbang waktunya. Kebiasaan datang terlambat merupakan salah satu cara ampuh untuk merusak persahabatan. Akui bahwa Andalah yang memiliki masalah dengan ketepatan waktu, bukan karena dirinya. Bersamanya, pikirkanlah sebuah solusi, misal lain waktu Anda dan dia akan bertemu di tempat yang menyenangkan untuknya menunggu, contohnya, toko buku. Atau bertemu di rumah Anda saja.

Anda tidak mengatakan padanya perilakunya yang menyakiti Anda
Jika suatu waktu sahabat Anda mengatakan atau berbuat sesuatu yang menyakiti Anda, jangan langsung membombardirnya dengan protes. Pikirkanlah, jika perbuatannya itu hanya satu kali, dan kemungkinan terbesar tak akan ia ulangi lagi, coba pertimbangkan, apakah dengan mengatakan rasa sakit Anda itu sepadan dengan hasilnya? Apakah kejujuran Anda itu tak akan menyakiti hatinya juga? Disarankan untuk mengungkapkan rasa sakit hati Anda jika keuntungannya –rasa kejujuran lebih dalam dan saling pengertian dalam persahabatan- akan mengalahkan rasa sakit di antara Anda. Kalau tidak, Anda bisa menciptakan jarak di dalam persahabatan Anda. Bila apa yang ia lakukan sangat menyakiti hati Anda, sehingga Anda tak mungkin bisa melewatkan waktu tanpa terus memikirkan rasa sakit itu, barulah putuskan untuk membicarakan hal tersebut dengannya. Lakukan dengan singkat dan padat, misal, “Saya tak sengaja mendengar kamu bicara tentang masalah kesuburan saya dengan Lia, padahal saya sudah minta kamu untuk merahasiakannya.” Beri kesempatan untuknya minta maaf, dan lihatlah apakah Anda bisa kembali mempercayainya lagi.

remaja bukan lemahsyahwat tapi lemah nasionalisme

YOGYAKARTA,

- Maraknya kenakalan remaja merupakan indikasi melemahnya rasa bela negara di kalangan generasi muda.

Hal ini dikatakan Kepala Subdirektorat Lingkungan Pendidikan, Direktorat Pembinaan Kesadaran Bela Negara, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Departemen Pertahanan, Rukman, usai pembukaan Gelar Prestasi dan Bela Negara (GPBN) Siswa SMK Nasional 2009 di Yogyakarta, Senin (26/10). Tawuran pelajar dan pemakaian narkoba itu sudah bisa disebut melemahnya rasa bela negara karena itu menambah beban negara ini.

Menurut Rukman, praktik bela negara dalam konteks pelajar adalah bertingkah laku baik dan menunaikan tugas serta kewajibannya sebagai pelajar. Lebih luas lagi, makna bela negara pada konteks masyarakat sipil berarti mencintai tanah air dengan melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Hal ini, bisa dilakukan dengan cara mempraktikkan nilai-nilai budaya bangsa seperti gotong royong maupun menjaga sopan santun.

Saat ini, ujar Rukman, rasa bela negara cenderung diartikan dalam makna yang sempit yaitu hanya wajib dipraktikkan oleh kalangan militer saja. Padahal, bela negara wajib dilakukan semua warga negara terhadap kondisi yang mengancam bangsa tanpa harus turun ke medan perang.

Menurut Rukman, masyarakat sipil perlu mempraktikkan bela negara pada ancaman yang bersifat nonmiliter seperti ancaman terhadap merosotnya karakter bangsa atau ancaman di bidang kesehatan. "Masyarakat bisa turun waspada dan mengantisipasi penularan wabah penyakit seperti pada kasus merebaknya penularan flu babi beberapa waktu lalu," katanya.

Rukman mengungkapkan, pihaknya telah bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk mengembangkan rasa bela negara pada pelajar. Selain melalui pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, penanaman rasa bela negara juga disisipkan melalui berbagai kegiatan di sekolah.

Warga Negara Indonesia yang pergi ke luar negeri juga diharapkan tetap menjaga nama baik negara dengan cara mengukir prestasi atau tidak melanggar ketentuan yang berlaku di negara yang dikunjungi.

Terkait hal ini, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIY Suwarsih Madya menuturkan, rasa bela negara bisa dimulai dengan memahami daerah masing-masing. Dari pemahaman terhadap lingkungannya, diharapkan tumbuh rasa cinta terhadap Tanah Air.

Oleh karena itu, saat ini para pelajar DIY terus didorong untuk mengolah dan berkreasi dengan potensi lokal daerah masing-masing. "Hasil karya mereka akan berguna untuk seluruh bangsa. Ini wujud nyata pendidikan bela negara," tuturnya.

Menurut Suwarsih, rasa cinta pada daerah bukan ancaman pada kesatuan dan persatuan bangsa namun justru akan memperkuat. Sebaliknya, minimnya pemahaman lingkungan generasi muda bisa menjadi ancaman pada potensi seni budaya maupun kekayaan alam bagsa. "Kalau kita sendiri tidak memahami potensi daerah kita, maka saat kesenian daerah atau potensi alam daerah kita yang diklaim negara lain, kita juga tidak akan tahu," ujarnya.

apa "rasa sakit" itu???



Untuk apa sebenarnya rasa sakit diciptakan?

Mereka yang pernah membaca The Da Vinci Code-nya Dan Brown, mungkin akan ingat sebaris kalimat aneh perihal kesakitan: “Rasa sakit itu baik, Monsieur.” Pada bagian pembuka dari buku yang diklaim telah “memukau nalar” dan “mengguncang iman” itu, kalimat yang bernada mengerikan itu diucapkan Silas, seorang lelaki albino bertubuh besar, pada Jacques Saunière, kurator Museum Louvre, Prancis.

Saat mengucapkan kalimat itu, Silas telah menembak Saunière tepat pada perutnya. Saunière tidak serta merta mati dan Silas tahu itu, tapi tak melakukan apa-apa. Sebab, si albino mengerti: setelah lima belas menit peluru melukai Saunière, sang kurator akan mati. Kematian Saunière akan menjadi ajal yang perlahan-lahan merayap diiringi rasa sakit yang mengerikan. Setelah lambungnya tertembus pelor, asam-asam lambung Saunière akan pelan-pelan menembus rongga dadanya. Pada saat itu terjadi, ia akan meninggalkan dunia karena keracunan organnya sendiri—sebuah cara menemu ajal yang ganjil sekaligus menggidikkan.

Silas, sang pembunuh itu, adalah anggota Opus Dei, sebuah sekte Katolik yang dikenal amat taat menjalankan ajaran sekaligus kontroversial. Salah satu kontroversi kelompok itu, barangkali berasal dari pandangan mereka soal rasa sakit. Seperti yang dengan dingin diucapkan Silas pada orang yang dibunuhnya, kelompok itu—seperti kita baca dalam The Da Vinci Code—memang “menyukai” rasa sakit. Rasa sakit adalah sebentuk kebaikan, dan oleh karenanya, manusia membutuhkannya.

Itulah kenapa kebanyakan anggota Opus Dei yang militan menggunakan sebuah sabuk berduri bernama cilice, yang dikenakan pada paha. Cilice merupakan pengikat yang terbuat dari kulit, ditaburi mata kail dari metal tajam yang secara tanpa ampun akan menancap ke daging tatkala dipakai. Anggota-anggota Opus Dei yang militan biasa menggunakan peralatan itu sebagai pengingat yang tak henti akan penderitaan Kristus. Selain sebagai pengingat akan kesakitan, pemakaian cilice juga membuat pemakaianya kehilangan nafsu jasmaniah mereka—sesuatu yang mungkin juga hendak disingkiri oleh Opus Dei.

Pada hari ketika ia membunuh Saunière, Silas mengenakan cilice lebih lama dari waktu yang seharusnya dengan tujuan “membersihkan diri”. Sebagai umat agama yang taat, Silas pasti mafhum bahwa membunuh adalah sebuah perbuatan yang “mengotori” sehingga mereka yang berbuat dosa seperti itu mesti melakukan “pembersihan diri”. Pembersihan diri itu, dalam ajaran Opus Dei, adalah dengan merasakan sakit lebih lama dari yang biasa. Itulah kenapa, selepas menunaikan tugas pembunuhan itu, Silas mencambuki punggungnya sendiri hingga darah mengucur, dan kesakitan merayapinya.

Sambil memanjatkan doa, saya bayangkan Silas mencambuki punggungnya sambil terus mengucapkan “mantra sakti” yang diperkenalkan Jose Maria Escrivá, pendiri Opus Dei dan penulis Buku The Way yang mengandung intisari ajaran sekte itu: “Sakit itu baik.”
***

Pada sekira abad 16, di Turki yang kala itu masih di bawah kuasa Kesultanan Utsmaniyah, rasa sakit adalah bagian integral dari proses pendidikan para calon seniman lukis. Dipukul, ditampar, dan berbagai bentuk tindakan kasar lainnya merupakan sesuatu yang mesti dijalani anak-anak kecil yang belajar magang di bengekel seni istana. Kesalahan kecil yang dibuat anak-anak lucu itu akan dibalas dengan kekerasan yang mungkin menjijikkan dari para guru dan empu mereka.

Di bagian agak akhir My Name is Red, Orhan Pamuk mengisahkan bagaimana seorang calon murid magang yang pulang ke rumah dan gentar hendak kembali ke bengkel seni istana karena pukulan dan kekasaran lainnya. Pada bagian ini, dengan sebuah penuturan yang agak mengharukan, Pamuk—melalui sudut pandang sang anak yang telah dewasa dan menjadi seorang empu—mengisahkan bagaimana rasa sakit harus ditanggapi. Melalui nasihat ibunya, sang anak kemudian belajar menghadapi kekasaran, dan pada akhirnya, menerima kesakitan sebagai bagian dari proses penempaan dirinya menjadi seorang empu.

“Ada dua jenis manusia di dunia ini,” begitu saya bayangkan sang ibu menasihati anaknya. Yang pertama adalah mereka yang takut pada pukulan masa kecil mereka. Manusia jenis ini, akan selamanya tertindas, selamanya jirih di hadapan tindak kekerasan yang membuat mereka trauma. Yang kedua, mereka yang lebih beruntung karena, meski mereka tak pernah bisa melupakan pukulan-pukulan dan rasa sakit yang diakibatkannya, pukulan-pukulan itu akan melecut mereka lebih pandai mengenali berbagai muslihat yang direncanakan terhadapnya.

Menerima rasa sakit, mengingatnya, tapi tidak terpenjara karenanya. Ini sebuah pernyataan yang mudah diucapkan, tapi sulit diaplikasikan. Saya berkata demikian karena selama beberapa hari belakangan, saya menyaksikan seorang yang amat dekat dengan saya, tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit, dan sesekali mesti menanggung kesakitan-kesakitan yang tak selamanya bisa dijelaskan dan dipahami “fungsinya” secara rasional, atau bahkan, filsafati—seperti Silas memahami rasa sakit, misalnya. Tiap kali khasiat obat yang diminumnya habis, dia—seseorang yang saya tunggui itu—mengerang-erang merasai kepalanya yang diserang rasa sakit yang mungkin parah.

Saat semua itu terjadi, saya hanya akan diam, kadang teringat Silas, kadang teringat Pamuk, namun tak tahu harus bagaimana. Kemudian, saya paham bahwa yang bisa kita lakukan, mereka yang berada di hadapan seorang yang tengah merasai sakit, hanyalah berusaha menolongnya dengan penghiburan, doa, atau memanggil juru rawat. Lalu kita mungkin akan selamanya ingat Tuhan, kematian, dan juga kehidupan pasca-dunia.

Pada sore hari dalam “masa menunggui” itu, tatkala langit sedang cerah dan matahari perlahan-lahan tenggelam, saya sering keluar ke balkon kamar rumah sakit—kamar itu ada di lantai tiga sebuah gedung, tempat yang cukup untuk kita, manusia yang rendah ini, berimajinasi seolah posisi kita cukup dekat dengan langit yang tinggi—menyaksikan awan-awan yang putih kebiruan berpadu dengan semburat senja yang kemerahan sekaligus kekuningan. Keindahan yang luar biasa namun berlangsung sekejap itu, sama misteriusnya dengan rasa sakit: sama-sama tak bisa kita jangkau dengan baik. Kita hanya memandangnya dengan gentar sekaligus takjub, gemetar sekaligus tak mengerti.

Akhirnya saya tahu, pada momen melihat kesakitan itu, kehendak untuk bertindak-menolong kadang ditelikung oleh kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang lemah sekaligus daif. Dan pemahaman soal rasa sakit menjadi sesuatu yang makin kabur, menjauh, meski tahu bahwa sosoknya ada di hadapan kita, tepat di pelupuk mata kita yang berair.

imajinasi masa dini

Perlahan-lahan ada yang sedang berubah dari dunia anak-anak di sekeliling kita. Sebuah pergeseran yang terjadi dalam imajinasi mereka, juga ketertarikan, dan harapan-harapan. Kebudayaan anak-anak Indonesia tak mungkin lagi dianggap sebagai ruang sempit yang hanya berisi produk-produk kultural yang ditafsirkan sebagai “asli Indonesia”. Suka atau tidak, kita sedang menyaksikan anak-anak itu memasuki satu ranah budaya baru: sebuah lanskap kultural yang pernah disebut Marshall McLuhan sebagai “dusun global”.

Pemikiran ihwal pergeseran itulah yang hadir di kepala saya, menjadi satu kesimpulan sementara tentang dunia anak-anak paling kontemporer di Indonesia, ketika saya memandangi satu demi satu lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Lukisan Anak dan Remaja 2009. Pameran yang diadakan di Balai Soedjatmoko, Solo, pada 22-28 Juli 2009 itu bisa menjadi bahan refleksi mendalam tentang wajah anak-anak Indonesia hari ini. Diikuti sekira 27 pelukis yang masih menempuh pendidikan di taman kanak-kanak sampai SMA, pameran yang kebanyakan menampilkan lukisan realis tersebut merupakan cermin bening tentang imajinasi, harapan, juga dunia yang paling dekat dengan anak-anak di Indonesia.

Secara umum, obyek yang menjadi bahan lukisan dalam pameran itu memang bervariasi: pemandangan sawah dan gunung, tokoh kartun, binatang, dunia sosial manusia, garis dan komposisi abstrak, serta pelbagai ihwal lain. Tapi dipandang dari sudut yang lebih jeli, ada kecenderungan lukisan-lukisan dalam pameran tersebut menampilkan anasir-anasir dari kebudayaan yang bisa dikatakan sebagai “bukan asli Indonesia”.

Lukisan berjudul Dream karya Ines Pramesti (SMP 12 Surakarta), misalnya, menampilkan dua sosok dengan karakter fisik mirip tokoh kartun Jepang. Dalam lukisan itu, kita akan melihat seorang gadis berkuncir dua ala komik Jepang sedang duduk di atas bulan sabit. Di sampingnya, ada seorang peri bersayap—yang penampilan fisiknya lagi-lagi mengingatkan saya pada tokoh-tokoh anime—sedang terbang, sambil membawa tongkat sakti dengan bintang di ujungnya. Bahkan jika kita mengabaikan fisik sang gadis dan perinya, kita tetap menjumpai konsep yang cukup asing dalam kebudayaan Indonesia. Peri, contohnya, bukanlah berasal dari khasanah cerita rakyat kita—juga kata “dream” yang menjadi judul lukisan itu.

Hal yang sama saya temukan dalam Little Lily in Candy Line karya Elaine Pricillia Halim (Focus Independet School). Lukisan sederhana ini menampilkan seorang gadis berkepang dua dengan baju terusan dan rompi sedang duduk di tanah, di dekat sejumlah permen yang berjejer-jejer. Entah dari mana Elaine memungut kisah tentang Lily kecil ini, tapi yang pasti: ia bukanlah warisan kultur nusantara. Demikian pula Pooh and Piglet-nya Yurika Sugiarto (SD Kalam Kudus), Ferrari-nya Eric Raharjo (SD Kalam Kudus), Istana Cinderella-nya Emilee Elaine Budhi (Singapore Piaget Academy), Hello Kitty-nya Shanice Lau (SD Kanisius Keprabon II Solo), dan sejumlah karya lain.

Tentu saja ada yang melukis dengan nuansa-nuansa Indonesia, semisal Bebek Adus Kali-nya Audrey Kusnadi, Aku Anak Indonesia-nya Maria Jessica (SD Kanisius Keprabon II Solo), Membatik-nya Yahya Natania Irawan (TK Pelita Kasih Nusantara, Solo), atau Solo Batik Carnival karya Michelle RP Pangemanan (tamat dari TK Warga). Tapi sebagian dari lukisan-lukisan itu menampakkan semacam jarak antara pelukis dan karyanya—ada semacam ketidakakraban yang saya temukan dalam karya-karya itu.

Dalam Membatik, misalnya, hadir seorang perempuan yang sedang membatik dengan canting, di bawah sebuah pohon. Di belakangnya, ada pemandangan indah terbentang: langit warna-warni yang dipenuhi sinar matahari. Memandangi lukisan ini, saya menduga bahwa Yahya tidak akrab dengan dunia batik, sebab para pembatik sesungguhnya tak pernah—atau minimal jarang sekali—membatik di alam terbuka. Lagi pula, para pembatik biasanya bekerja secara kolektif, tidak sendirian. Imajinasi Yahya tentang proses membatik, agaknya dirancukan dengan proses melukis ala Barat. Secara visual, dalam film atau acara televisi lain, kadang kala digambarkan seorang yang melukis di tengah alam terbuka hijau yang indah—persis dengan latar dalam Membatik.

Barangkali kita bisa maklum: sebab Yahya, yang melukis Membatik, masih seorang murid taman kanak-kanak. Tapi paling tidak, kita bisa menyimpulkan: dunia batik tradisional bukanlah wilayah yang benar-benar diakrabi anak-anak Indonesia sekarang. Mereka lebih akrab dengan komik atau kartun, sehingga, tidak bisa dihindari, dua hal itulah yang lebih fasih mereka bicarakan atau lukiskan.

Simak lukisan Naruto dkk yang mencampurkan tokoh-tokoh dari kartun Naruto dengan dunia sosial khas kampung Indonesia. Lukisan karya Ivan Kristiawan Eddyanto (SD Kanisius Keprabon II Solo) ini menghadirkan Naruto sebagai petugas kebersihan yang sedang mengemudikan gerobak sampah, Sakura sebagai penjual jamu gendong, dan Sasuke sebagai pemuda desa yang sedang membetulkan genteng rumah. Ada beberapa tokoh lain dari kartun itu yang juga hadir: ada yang berperan sebagai pemulung, tukang becak, dan pemuda yang sedang mengayuh sepeda onthel.

Naruto dkk adalah lukisan paling unik yang saya temui dalam pameran ini. Saya terpesona dengan kefasihan Eddy melukis tokoh-tokoh kartun itu dan memaukannya dengan unsur-unsur lokal, sehingga akhirnya saya menerima—meskipun awalnya terkejut—kehadiran Naruto sebagai petugas kebersihan, atau Sakura yang pemberani itu sebagai penjual jamu gendong. Seolah-olah, keduanya dan juga kawan-kawan mereka bukanlah jagoan dari sebuah negara asing, tapi orang-orang biasa dari suatu kampung yang dekat. Imajinasi Eddy menarik, juga kemampuannya mencampurkan “anasir asing” dengan ihwal yang berada di dekatnya.

Kemampuan mencampurkan semacam itulah, terutama dalam seni meski tak terbatas hanya di wilayah itu, yang barangkali bisa menjadi penawar bagi mereka yang gelisah terhadap ketertarikan dan kedekatan anak-anak Indonesia masa kini dengan “budaya luar”. Sebab sesungguhnya, kita tak pernah mungkin lagi membatasi anak-anak itu untuk hanya mencicipi “dunia lokal” seperti laiknya orang-orang tua mereka lampau. Televisi, internet, juga sumber-sumber informasi lain, telah tersedia dan berada dalam jangkauan mereka, semenjak lahir hingga dewasa. Maka, pembatasan semacam apapun akan mudah dijebol—sebab sekali demarkasi itu telah ditembus, susah kita menambalnya kembali.

Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap kritis, pada setiap produk budaya yang hadir—sikap itulah yang antara lain tercermin dalam lukisan Naruto dkk. Sikap semacam itu yang perlu diupayakan tumbuh pada anak-anak kita, supaya mereka punya bekal cukup saat memasuki dunia baru yang dilimpahi informasi ini. Bagaimanapun, mereka kelak akan menjadi warga dusun global dan hidup di dalamnya, sehingga harus ada upaya kultural mempersiapkan mereka sejak dini menjadi lebih kritis, lebih peka, dan lebih kreatif. Dusun global itu telah di depan mata, dan anak-anak tersebut sedang memasukinya. Lalu, akankah kita diam saja?

Sukoharjo, Juli 2009
Haris Firdaus

pentingkah komunikasi itu,,,

Nama aslinya Saddam Husein, tapi ia sering dipanggil Kastro. Ia seorang ABG, masih SMA, rumahnya tepat di muka rumah saya. Sangat mungkin ia dilahirkan semasa Perang Teluk sehingga ayahnya yang nge-fans berat dengan Presiden Irak Saddam Husein memberikan nama persis dengan sang presiden. Seperti lazimnya ABG, Kastro selalu ingin tampil beda: ia gemar memakai busana hitam-hitam, kaos dengan tulisan tak jelas yang kelihatan sangar, potongan rambutnya gondrong di bagian belakang dan cepak bagian depan.

Pada suatu hari, saya melihat Kastro sibuk berbicara melalui handphone. Di dekatnya ada seorang kawannya yang masih sekampung dengan saya. Saya duduk cukup dekat dengan Kastro sehingga bisa tahu bahwa ia bicara dengan seorang perempuan—juga masih ABG. Kawan cowok di sebelahnya, namanya Nuri, tampak antusias mendengar percakapan Kastro dan teman ceweknya. Kadang Nuri memberi komentar, atau ikut dalam percakapan. Ia beberapa kali meminta handphone supaya bisa berbicara dengan sang cewek di seberang. Ternyata, Nuri dan Kastro memang bicara secara bergantian dengan cewek yang kalau tak salah namanya Mawar itu. Saya mendengar cukup lama obrolan mereka dan tahu: ketiganya sebenarnya hanya saling kenal via handphone. Entah dengan cara bagaimana, Kastro atau Nuri mendapatkan nomor Mawar lalu mengajkanya berkenalan. Mawar menyambut ajakan itu sehingga terjadilah percakapan panjang penuh gelak.

Perkenalan nonfisik via handphone yang dilanjutkan percakapan panjang itu bisa terjadi karena Kastro atau Nuri baru saja membeli kartu perdana merek tertentu yang, kala itu, sedang menggelar promosi besar-besaran melalui pemberian tarif telepon sangat murah. Tarif bicara sesama operator hanya Rp 1 per menit. Untuk ukuran Indonesia, tarif itu sangat murah sehingga Kastro pun membeli kartu perdana dan secara iseng menelepon nomor handphone yang menggunakan operator sama. Mujur ia bertemu ABG perempuan bernama Mawar dan kemudian mereka berkenalan.

Saya tertarik dengan aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar, karena obrolan mereka, menurut saya, dipenuhi hal menarik yang mungkin bisa disebut sebagai karakter percakapan iseng para remaja. Pertama, jelas hubungan pertemanan mereka hanya terjadi melalui kontak nonfisik. Bisa jadi obrolan mereka ini akan menjadi awalan bagi pertemuan fisik, tapi saya kira pertemanan mereka hanya akan tetap terjadi lewat handphone. Ini pun masih dengan syarat: operator seluler yang sedang mereka pakai masih memberikan potongan harga yang cukup besar sehingga bisa dijangkau secara ekonomi oleh mereka.

Kedua, ketiganya menggunakan nama samaran saat berkenalan. Kastro tidak menyebutkan nama aslinya, bukan pula julukan akrabnya. Ia menyebut nama lain yang agak beken, seperti Diki. Nuri juga demikian. Nama Mawar yang disebut sang cewek sangat mungkin juga hanya samaran. Dari sini, kita tahu: mereka sebenarnya tak pernah benar-benar ingin mengenalkan diri. Nama samaran adalah sebuah pertanda bahwa mereka tak sungguh-sungguh ingin berteman—dalam artinya secara klasik.

Ketiga, isi percakapan mereka benar-benar hanya merupakan hal remeh yang bagi orang dewasa bisa membikin ketawa. Sepanjang puluhan menit dialog, mereka hanya mempercakapkan hal-hal umum semacam sekolah, alamat rumah, aktivitas yang sedang dilakukan. Selebihnya pertanyaan-pertanyaan macam ini: “Sudah makan belum?”; “Baru ngapain?”; atau “Sudah punya pacar belum?”. Karena sejak awal perkenalan mereka dibangun dengan nama samaran, saya curiga bahwa data-data pribadi yang mereka sebutkan sebenarnya juga palsu.

Keempat, percakapan yang mereka lakukan tak mengenal waktu dan tempat. Mereka bisa bercakap kapan saja, asalkan tarif telepon masih sangat murah. Kastro dan Nuri juga tak bercakap-cakap di tempat-tempat privat, semisal kamar atau rumah. Saya bertemu dengan mereka di masjid dan mereka dengan santai melakukan percakapan dengan Mawar. Saat saya berada dalam satu mobil dengan mereka, kala itu kami sedang sama-sama menuju pernikahan kawan kami, Kastro dan Nuri pun tanpa rikuh terus bercakap-cakap via handphone. Padahal ruang mobil yang sempit membuat obrolan mereka bisa didengar oleh semua penumpang mobil lainnya. Tak terlihat bahwa mereka berusaha menyembunyikan isi ibrolan mereka. Bahkan, sangat sering mereka memakai load speaker di handphone mereka sehingga suara Mawar juga bisa jelas terdengar oleh orang lain dalam mobil.

Kelima, ini yang membuat saya ngakak dan menurut saya benar-benar orisinal dari mode obrolan mereka: di sela-sela pembicaraan, Kastro atau Nuri akan meminta Mawar menyanyikan lagu apa saja yang ia bisa. Saya mulanya menyangka Mawar akan menolak, mungkin ia malu. Nyatanya tidak. Dengan suaranya yang tak pas, dan percaya diri yang luar biasa tinggi, Mawar mulai mendendangkan sebuah lagu dangdut yang saya tak hafal judulnya—sesungguhnya, lirik lagu itu juga baru saya dengar kali pertama saat itu. Saya geleng-geleng kepala mendengar nyanyian itu dan tak habis mengerti: apa sih tujuan Kastro dan Nuri meminta Mawar menyanyi? Sebagai hiburan? Sekadar keisengan atau lucu-lucuan?
***

Saya tertarik mengamati bagaimana Kastro dan Nuri melakukan percakapan dengan Mawar karena aktivitas mereka adalah satu eksemplar misal tentang bagaimana hasrat berteman yang dimiliki para remaja berhubungan dengan teknologi komunikasi. Teknologi komunikasi, seperti handphone, bukan barang yang asing dengan mereka. Para remaja membawanya ke mana-mana, kadang mereka berlomba unjuk handphone di hadapan sesama remaja.

Dalam kasus Kastro dan Nuri, handphone adalah sarana yang bisa memuaskan hasrat iseng mereka akan hubungan dengan lawan jenis. Para remaja adalah figur yang mulai punya keterterikan secara konsisten dengan lawan jenis. Mereka mulai belajar bagaimana menjalin hubungan, bagaimana memulai perkenalan, atau membuka obrolan. Mereka membutuhkan pelampiasan: hasrat berhubungan itu dalam waktu tertentu harus disalurkan.

Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung ingin menjalin hubungan serius, remaja menginginkan hubungan yang penuh petualangan dan keisengan. Mereka sama sekali tidak serius. Bukan hasil akhir hubungan itu yang penting bagi mereka. Alih-alih tertarik dengan hal itu, mereka lebih terangsang dengan hal-hal iseng, seperti berkenalan dengan orang-orang baru, menjalin percakapan dengan lawan jenis tak dikenal, atau semacamnya. Tampaknya, mereka menyukai proses perkenalan dengan orang-orang baru karena hal itu menantang, membuat penasaran. Tujuan utama perkenalan itu jauh dari motif mencari pasangan yang serius dan sebagainya.

Hal semacam itulah yang membuat Kastro dan Nuri berani menelepon sebuah nomor tak dikenal, lalu mengajak sang empunya nomor berkenalan. Hasrat berteman yang dipenuhi keisengan itu pula yang menyebabkan Mawar menerima ajakan perkenalan dari Kastro, tak peduli bahwa cowok yang mengajaknya kenalan hanya sekadar iseng. Kastro iseng, dan Mawar juga sangat mungkin hanya iseng.

Belum lama ini, saya kembali teringat dengan model keisengan Kastro dan Nuri saat membaca Rubrik SMS Gaul di Harian Solopos Edisi Minggu. Solopos adalah koran yang mendominasi di wilayah Solo dan sekitarnya sejak 1998, saat kerusuhan melanda Solo. Tiap Minggu, Solopos punya halaman khusus remaja berisi beberapa rubrik seperti puisi, wawancara, curhat, dan artikel mengenai dunia remaja—semuanya ada di dua halaman bernama Gaul. SMS Gaul adalah bagian dari halaman itu, merupakan rubrik berisi pesan singkat dari para remaja yang berisi berbagai hal. “Punya unek-unek atau mau mengirim pesan ke teman-teman, sampein aja lewat SMS Gaul,” begitulah isi pengumuman singkat di bagian atas rubrik yang kemudian disusul dengan cara pengiriman pesan.

Sejak lama saya mengacuhkan rubrik itu tapi beberapa waktu lalu entah kenapa saya membaca rubrik itu dengan agak teliti. Saya menemukan, rubrik itu memang banyak berisi ucapan yang ditujukan kepada kawan dari si pengirim—mirip dengan model “salam-salam” via radio—dengan bahasa gaul yang kadang di luar nalar. Salam-salam semacam itu sebenarnya lucu jika disampaikan via koran karena pesannya jelas akan lebih lambat diterima orang yang dituju ketimbang jika dikirim langsung ke nomor handphone kawan bersangkutan. Model pengiriman pesan semacam ini menunjukkan, sang pengirim tak sekadar ingin memberi ucapan pada kawannya. Ia mungkin ingin numpang beken via koran, atau ingin para pembaca koran tahu bahwa ia sedang memberi ucapan pada kawannya.

Selain pesan model “salam-salam”, saya menemukan jenis pesan lain, yakni: semacam ajakan untuk berkenalan yang ditujukan kepada para pembaca anonim. Di Edisi Solopos Minggu, 15 Maret 2009, saya menemukan pesan yang dikirm oleh Choky (Sragen, HP: 085725091234): kulOnuwun....?aLOw cmua? Buat smuanya yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ, silakan sms Aq di nOmer ini..atAu buka fsQ aja di cookies_fi@plasa.com. Kta temenQ si FaCE Q mirip bojes afi. ha_x. thanks bwt Solopos, sukses teruZT..

Dilihat dari pemakaian hurufnya, pesan Choky, yang saya ketik sesuai dengan aslinya, memang tampak mencolok. Menggunakan paduan huruf besar-kecil yang tak beraturan, juga penggantian huruf tertentu pada sebuah kata—seperti “halo semua” menjadi “aLOw cmua”—pesan itu secara bentuk memang menunjukkan kecenderungan remaja sekarang yang ingin berkomunikasi secara berbeda dan terlihat “gaul”. Meski tertarik dengan model penulisan semacam itu, saya justru lebih tertarik dengan isi pesan Choky yang mengajak para (remaja) pembaca Solopos “yg pengen kenaLAn ama aQ, CURHAT AMA AQ” untuk mengirimkan SMS ke nomornya atau berkenalan via Friendster.

Ajakan kenalan dan curhat yang dikirimkan Choky sebenarnya janggal sebab pesan itu dikirimkan kepada publik yang anonim, tanpa identitas. Umumnya, ajakan berkenalan kita ajukan pada sosok yang jelas, yang walau belum kita kenal, tapi jelas orangnya. Sementara, ajakan curhat biasanya hanya diajukan buat orang yang sudah kita kenal baik. Pesan Choky melabrak dua kelaziman itu. Meski demikian, model pesan ala Choky ternyata sangat banyak saya temukan di SMS Gaul. Banyak sekali remaja di sekitar Solo yang ternyata mengajak kenalan dan curhat orang-orang anonim.

Bagi saya, pesan-pesan berisi ajakan kenalan itu menunjukkan bahwa remaja sekarang memang memiliki hasrat besar untuk melakukan pertemanan dengan cara yang aneh-aneh—sebuah keisengan yang juga diperlihatkan oleh aktivitas percakapan Kastro, Nuri, dan Mawar. Mereka terbiasa melampiaskan hasrat itu melalui teknologi komunikasi, seperti handphone, koran, atau internet. Pesan-pesan ala Choky yang kini bertebaran di koran, sangat mungkin tidak hanya Solopos, merupakan bukti bahwa remaja memang memiliki ketertarikan terhadap hubungan dengan proses yang menantang.

Entri Populer