rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Jumat, 07 Januari 2011

perjalanan sebuah hati

facebook.comCerpen Rudi Setiawan
Di atas sebuah batu besar berwarna kehitaman, berbaring lemah seekor anjing bermata buta yang bulunya hampir gundul karena borok-borok bernanah diseluruh tubuhnya.
Aku berjalan perlahan mendaki puncak bukit yang di atasnya terdapat bangunan megah serupa istana. Dari kejauhan warnanya nampak kemilau indah memancarkan cahaya, seperti layaknya tatahan intan permata berkilauan, setiap mata pasti kan terpukau bila melihatnya. Di sekililingnya terdapat empat menara tinggi berkubah emas. Bangunan itu seolah magnet yang mempesona sehingga menarik kumparan-kumparan jiwaku untuk bergerak menapak ke sana.
Jalanannya semula landai, namun setelah sekitar seribu langkah kuayun, jalanan tersebut berubah sedikit terjal dan mulai berkelok. Pohon-pohon berdaun rimbun dan berbuah lebat disekeliling jalan, sesekali kunampak tanaman-tanaman bunga tumbuh liar tak beraturan berbaur dengan rerumputan dan rumpun ilalang.
Langit berwarna cerah, meski ada beberapa awan putih bergelayutan serupa sekumpulan domba-domba bebulu putih yang bencengkerama di padang biru. Matahari mulai condong ke barat tetapi sinarnya masih belum menguning. Angin segar dari atas bukit meniupkan aroma wewangian kembang setaman. Sepasang burung Jalak putih hinggap di pucuk pinus, bersiul menyenandungkan kicauan asmara. Aku terus saja berjalan sembari menikmati indahnya alam disekitarku.
Di sebuah tikungan jalan kudapati seorang lelaki kurus kering berbalut baju lusuh dan compang-camping, duduk bersandar dibawah rindangnya pohon Asem, kulit mukanya terlihat pucat dan keriput, bibirnya kering dan pecah-pecah seperti seorang yang telah lama dilanda kelaparan hebat. Kedua kakinya terlihat lemah sepertinya lumpuh. Kuberanikan diriku untuk menyapanya mencoba mencari tahu siapa dirinya.
“Wahai pak tua, siapakah engkau berada sendirian di sebuah perbukitan yang asing ini ?”
Dia tak menjawab, justeru sebaliknya dia bertanya kepadaku:
“Dan kau anak muda siapakah dirimu dan apa sesungguhnya yang sedang kau cari hingga kau mendaki di sini?”
“Ah kau pak tua, kau belum jawab pertanyaanku dan kau justeru bertanya balik kepadaku !” sanggahku sedikit jengkel.
“Aku tak akan menjawab pertanyaanmu sebelum kau jawab pertanyaanku !”, dia balik menyanggah.
“Baiklah-baiklah, akan kujawab dulu pertanyaanmu!” aku akhirnya mengalah.
“Namaku adalah Niat, aku mendaki bukit ini karena hendak menuju istana megah diatas bukit sana “, terangku kepadanya.
“He, he , he!” dia tertawa terkekeh.
“Kau tak akan mampu mendaki kesana, kecuali jika kau mau menggendongku bersamamu pergi kesana!” dia meneruskan katanya sambil terus terkekeh.
“Hah apa?”
“Aku harus menggendongmu pula, sedang untuk berjalan sendiripun kakiku mulai berat sedang didepan sana jalan semakin terjal!” aku menolak keinginannya
“Ketahuilah wahai Niat namaku adalah Ikhlas, aku akan memudahkan dan meringankan jalannmu dalam mendaki bukit ini," dia menerangkan namanya padaku.
“Tidak-tidak, aku tidak akan mau menggendongmu, aku tidak akan melakukannya, aku tak sanggup membawamu," jawabku sambil terus berlalu darinya.
"He, he , he, kau tidak akan mampu Niat, tak akan pernah mampu tanpa bantuanku!” teriaknya sambil terus terkekeh.
Tak kuperdulikan teriakannya, aku terus berjalan menjauhinya menuju puncak bukit yang hendak kutuju.
********
Jalanan benar-benar mulai terjal dan menyempit, sesekali kakiku terpeleset dan terjatuh oleh tanah yang licin, mencoba untuk tegar aku lalu bangkit dan meneruskan perjalanan. Seribu langkah kira-kira telah kuayun hingga aku sampai di tikungan kedua.
Di atas sebuah batu besar berwarna kehitaman, berbaring lemah seekor anjing bermata buta yang bulunya hampir gundul karena borok-borok bernanah diseluruh tubuhnya. Bau busuk menyengat tercium dari boroknya. Aku bergegas menjauh sambil kututup hidungku sebab bau busuk tubuhnya menusuk hidungku.
Diluar dugaan tiba-tiba di berbicara kepadaku,
“Wahai Niat, kenapa kau begitu tergesa-gesa berhentilah sejenak disini, dengarkanlah ceritaku barangkali kau membutuhkanku!”
“Hey bisa bicara rupanya kau, wahai anjing buta berbau busuk!” kataku setengah terperanjat, terheran-heran mendengar anjing yang bisa berbicara.
“Dari mana kau tahu namaku wahai anjing?” tanyaku sambil bergidik karena jijik.
“Tak perlu kau tahu darimana aku tahu namamu, bahkan kemana tujuan perjalananmupun aku telah mengetahuinya," jawabnya datar.
“Jadi kalau kau tahu kemana tujuan perjalananku memangnya apa yang kau inginkan?” tanyakau lagi.
“Dengarlah wahai Niat, namaku adalah Hidayah, aku bisa menuntunmu serta menunjukkan jalan pintas yang terbaik bagimu agar bisa sampai ketujuanmu dengan selamat," dia mencoba menjelaskan.
“Hah bagaimana mungkin kau akan menuntunku sedang matamu sendiripun buta!” sergahku.
“Percayalah aku bisa dan pasti bisa karena ini adalah tugasku," terangnya lagi.
“Aku tidak perlu bantuanmu, mataku awas sedang kau buta, dan lagian aku tak sanggup mencium bau busuk tubuhmu!” dengan tegas aku menolaknya.
Lalu aku ngeloyor pergi sembari terus menutup lubang hidungku, kuabaikan dia memanggil-manggil namaku, aku terus saja berjalan tanpa menoleh lagi.
********
Pendakianku semakin tinggi keatas, angin dari atas bukit mulai keras menerpaku, bersama kabut senja yang gemulai turun merambah lereng-lereng perbukitan. Angin dan kabut berpadu mengirimkan hawa dingin menusuk kulitku. Matahari mulai kemuning pertanda senja sebentar lagi akan beringsut pulang berganti malam datang menjelang.
Aku terus saja berjalan, dingin di kulitku tak kurisaukan, yang ada hanya keinginan kuat agar segera sampai di puncak bukit dan beristirahat di istana megah yang kutuju. Warna kubah menara semakin terlihat kuning keemasan ditimpa oleh sinar matahari yang kemuning, aku benar-benar terpesona kusegerakan langkah mengayun kesana.
Aku terperanjat kaget mendengar sebuah teriakan dari seekor bekicot yang sedang berada di tengah jalan dan hampir-hampir saja tanpa sengaja terinjak oleh kakiku.
“Hei Niat, pelan-pelankanlah jalanmu jangan kau tergesa-gesa!” begitu dia berteriak menegurku.
Lalu aku duduk membungkuk, dengan penuh ketakjuban kuperhatikan tubuh kecil bekicot itu, dan keajaiban apa yang membuatnya bias berbicara layaknya manusia.
“Kau sedang berbicara padaku wahai bekicot kecil?” tanyaku kepadanya.
“Iya aku berbicara padamu karena aku ingin memberikan sebuah nasehat kepadamu!” katanya
“Apa yang hendak kau nasehatkan padaku wahai kawan kecil?” tanyaku lagi.
“Pelan-pelankanlah langkahmu, jangan kau tergesa-gesa, agar kau bisa sepenuhnya menikmati perjalananmu hingga sampai di tujuanmu nanti," begitu nasehatnya padaku.
“Kenapa aku mesti memelankan jalanku, sedang hasratku ingin segera sampai dipuncak bukit ini dan tinggal di istana yang megah menawan itu," bantahku.
“Tenanglah tak perlu tergesa-gesa, kuperkenalkan padamu aku adalah Sabar, berjalanlah bersamaku di sampingku, mari kita nikmati perjalanan ini bersama-sama, lihatlah dan perhatikanlah betapa indah alam disekeliling lereng bukit ini," si bekicot kecil bernama Sabar itu melanjutkan nasihatnya.
“Mana mungkin aku berjalan berdampingan denganmu, kau berjalan begitu lambat, sedang aku ingin segera sampai di istana itu!” aku terus menolaknya.
“Dengarkanlah nasehatku sobat, jikalau kau selalu terburu-buru kau justeru tak akan sampai ke istana itu," dia terus berupaya menasehatiku.
“Tidak, pokoknya aku ingin segera sampai di puncak bukit dan menikmati indahnya istana yang megah itu," sambil berkata demikian lalu aku bergegas pergi, meninggalkan si bekicot kecil itu tertatih-tatih berjalan merambat ditengah jalan.
********
Bangunan serupa istana megah dan indah diatas bukit itu perlahan-lahan mulai terlihat jelas menggoda hatiku, langkahku semakin kupacu tak sabar untuk segera sampai di sana. Kabut tipis putih yang menyelimuti puncak bukit itu tiba-tiba menggumpal-gumpal kehitaman. Semakin lama semakin menebal sehingga jarak pandangku menjadi terhalang. Matahari telah menyusup jatuh ke pembaringannya, langit kemuning berubah menjadi gelap dan hitam. Pandangan mataku semakin kabur dibekap gelap yang pekat.
Aku tetap nekat terus berjalan, hasratku tetap memburu agar segera sampai di istana puncak bukit itu. Dengan bekal naluri yang kupunya kupastikan melangkah ke suatu arah yang kuyakini menuju ke puncak bukit itu. Langkahku kupercepat, tak kuperdulikan segala gelap yang menggelayut didepan mataku. Aku terus berjalan hingga sampai di suatu tempat lamat-lamat kulihat bayangan istana megah itu muncul dibalik awan gelap. Lalu aku berlari dengan kencang menuju bayangan itu. Aku akan sampai, aku akan sampai, aku akan sampai teriakku dalam hati.
Pintu besar istana megah itu samar-samar terlihat dalam temaram, aku terus berlari menuju kearahnya, semakin dekat, semakin dekat, semakin mendekat. Hingga pada akhirnya setiba di depan pintu yang kukira pintu istana itu, akupun meloncat masuk.
Dan……..
Tubuhku seperti terdorong dengan keras, terperosok masuk kedalam lubang besar yang gelap dan pekat. Melayang kencang tersedot dalam pusaran gelap berlapis-lapis. Terus melayang hingga akhirnya terjatuh menghujam dengan deras kedasar jurang. Tubuhku terasa remuk redam, lemah lunglai tak berdaya. Lamat-lamat kudengar suara-suara berbisik ditelingaku, suara-suara yang pernah kudengar sebelumnya, suara-suara itu terus menerus bertalu-talu ditelingaku.
natali
Suara-suara si Ikhlas, suara-suara si Hidayah dan suara-suara si Sabar, silih berganti terngiang-ngiang ditelingaku:
“Bukankah telah kuperingatkan engkau?”
“Bukankah telah kunasehati engkau?”
“Bukankah telah kuberitahu engkau?”
“Mengapa engkau tak mau mendengar?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer