rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Minggu, 10 April 2011

Secangkir Kopi Perlu 140 Liter Air

                                             Yunanto Wiji Utomo | Tri Wahono | Selasa, 22 Maret 2011 | 19:21 WIB

Berapa jumlah air yang dibutuhkan untuk menyajikan secangkir kopi? Beberapa dari Anda mungkin akan dengan mudah menjawab, "Pastinya satu cangkir." Tapi, berdasarkan Water Footprint, rata-rata jumlah air yang dibutuhkan untuk menyajikan secangkir kopi adalah 140 liter.
Bagaimana bisa? Water Footprint tak hanya menghitung air yang digunakan untuk menyeduh kopi, tetapi juga total air yang dibutuhkan untuk menanam dan memelihara kopi, memanen, dan memrosesnya hingga menjadi biji kopi yang siap digiling, didistribusikan, hingga akhirnya disajikan di meja.
Jumlah tersebut cukup mengagetkan. Namun hal itu bisa menjadi cerminan bahwa pemakaian air dalam bidang pertanian, industri, dan konsumsi masyarakat tak terkirakan. Contoh lain, menyajikan secangkir teh memerlukan 35 liter air dan menyajikan 1 kg nasi memerlukan 3.000 liter air.
Untuk melihat dan mengontrol konsumsi air, pada tanggal 28 Februari 2011 lalu Global Water Footprint Standard merilis catatan terbaru. Catatan yang merupakan standar tersebut dikembangkan oleh Water Footprint Network dengan 139 partner, ilmuwan dari Universitas Twente, Belanda, serta kalangan LSM, perusahaan, dan pembuat kebijakan.
Global Water Footprint Standard memberikan konsistensi dalam mengukur jumlah air yang digunakan dan dampaknya. Pimpinan Water Footprint Network, Jim Leape, mengatakan bahwa standar tersebut dibuat saat perusahaan di semua sektor menyadari adanya ancaman kekurangan air yang bisa berdampak pada bisnisnya.
Menurut National Coordinator Freshwater Program WWF Indonesia Tri Agung Rooswiadji, standar tersebut dirancang untuk mengurangi pemborosan dalam konsumsi air. "Jumlah air bersih sudah sangat terbatas. Kalau kita boros, itu akan mengurangi kebutuhan pihak lain juga," ungkapnya.
Menurutnya, pemborosan konsumsi air kini banyak terjadi di kalangan industri komersial. "Industri ini tidak hanya industri manufaktur, tetapi juga yang lain, seperti pertanian dan tekstil. Kalau misalnya membuang limbah cair langsung, itu juga mengurangi jumlah air bersih," katanya.
Setiap komoditas industri menurutnya memiliki kebutuhan air yang berbeda. "Yang terbesar itu misalnya pada kopi, minyak sawit, dan kakao," kata Tri. Sektor lain, misalnya pada bahan makanan pokok, membutuhkan 3.000 liter air untuk memproduksi 1 kg beras dan 900 liter air untuk 1 kg tepung jagung.
Efisiensi dalam pemakaian air ini penting untuk dilakukan, terutama oleh kalangan industri. Ketidakefisienan dalam pemakaian air yang mengakibatkan kekurangan air bisa memicu konflik. "Itu pernah terjadi tahun 2001-2002 di Lombok. Petani berkonflik karena kekurangan air," ujarnya.
Tri mengungkapkan, kalangan industri bisa mulai menerapkan Water Footprint Standard. Dalam standar ini terdapat fasilitas penghitungan jumlah air yang digunakan berupa Water Footprint Calculator sehingga bisa membantu program efisiensi air.
Di sisi lain, ia juga menekankan perlunya kebijakan pemerintah. "Selama ini belum ada kebijakan mengenai efisiensi air," katanya. Kebijakan ini diharapkan bisa memacu pelaku industri untuk menerapkan standar tersebut.
Dengan Global Water Footprint Standard, pelaku industri bisa memantau penggunaan air, terutama menelaah sektor-sektor yang boros air. Dengan demikian, langkah efisiensi penggunaan air pun dimungkinkan dalam mendukung kelestarian sumber daya air.
Bagi individu, Global Water Footprint Standard bisa menjadi acuan untuk mengukur jumlah air yang digunakan dalam makanan, mencuci pakaian, dan barang-barang yang dibeli. Individu bisa beralih ke produk yang membutuhkan sedikit air dan yang proses produksinya memerhatikan kelestarian air.
Efisiensi penggunaan air merupakan salah satu cara untuk melestarikan sumber daya air, selain dengan mencegah pencemaran pada sumber air. Saat ini, kualitas air bersih secara global menunjukkan tren penurunan sehingga membutuhkan langkah radikal untuk melestarikannya.

Pasar Senjata

Hembusan ganas Afghanistan sudah terendus di Peshawar. Tak lebih dari 40 kilometer sebelah selatan Peshawar, di tengah jalan utama menuju Kohat, terletak desa Darra Adam Khel. Dari luar memang nampak seperti desa Pakistan biasa. Kumuh, semrawut, dan berdebu. Yang tak biasa adalah, desingan tembakan yang tiada henti.

Ini adalah tempat di mana segala macam senjata dan bedil dibuat di balik tembok rumah-rumah, dan anak-anak bermain butir-butir peluru menggantikan kelereng. Tak banyak tempat yang benar-benar wild west seperti Darra Adam Khel. Orang-orang bebas membeli dan mencoba segala macam senapan di sini. Mulai dari Kalashnikov, M-16, hingga bolpoint dan tongkat yang bisa menembak. Kakek tua bersurban dan berjenggot putih, keluar dari sebuah toko dengan senyum. Kemudian dia menembakkan M-16 nya ke udara. Tiga tembakan. Nampaknya dia cukup puas dengan bedil barunya.

Langit Darra dipenuhi suara-suara tembakan yang menyalak-nyalak tanpa henti. Saya dikejutkan lebih dari sepuluh kali ketika menyeruput segelas teh panas di kedai. Hati saya penuh tanda tanya, ke mana jatuhnya peluru yang ditembakkan tegak lurus ke atas? Sesuai prinsip gravitasi, peluru itu pasti akan jatuh lagi ke bumi. Adakah dia jatuh kembali kepada si penembaknya? Atau nyasar menembus atap kedai teh ini, menimpa kepala saya tanpa sengaja?

Di balik gubuk-gubuk ini, besi-besi berdentangan, cetakan-cetakan bedil bergantungan, dan orang-orang Pashtun berjenggot lebat sibuk mengasah buah karya mereka. Saat ini ada sekitar tiga ribu unit produksi rumah tangga penghasil bedil, dengan memperkerjakan sekitar 20 ribu ahli senjata. Hampir segala jenis senjata api ada modelnya di sini.

Tak ada barang yang Anda cari? Cukup bawa contohnya, para ahli senjata di desa ini butuh tak lebih dari sepuluh hari untuk membuat tiruannya yang sama persis. Begitu cetakan barang baru ini berhasil dibuat, produksi berikutnya cuma butuh waktu dua sampai tiga hari. Memang jangan terlalu diharap untuk kualitas dan keawetannya. Senjata-senjata made in Darra dijual bebas, murah, dan you get what you pay.

Lebih dari seratus tahun lalu, suku-suku Pashtun dari klan Afridi yang mendiami Darra, sudah mempelajari teknik pembuatan bedil. Seiring dengan perang melawan Rusia di Afghanistan, perdagangan senjata di Darra semakin marak, memberi rejeki besar bagi para pembuat bedil ini. Kalashnikov diproduksi besar-besaran. Semua orang bebas membeli. Afghanistan dan Pakistan kebanjiran senjata ilegal.

Bukan hanya bedil, hashish (ganja) dan opium ikut datang melintas dari perbatasan Afghanistan. Gunung-gunung gundul yang memisahkan kedua sisi Durrand Line termasuk perbatasan paling bocor di seluruh dunia. Orang-orang bebas saja melintas ke sana sini tanpa prosedur imigrasi apa pun. Darra boleh berbangga sekaligus menjadi pusat perdagangan senjata ilegal, penyelundupan obat terlarang, dan segala macam kegiatan mata-mata.

Apakah Pakistan menutup mata terhadap home industry dan perdagangan ganja turun-temurun di Darra? Darra adalah daerah istimewa di Pakistan. Termasuk wilayah Pakistan tetapi sudah tak terjangkau hukum Pakistan. Daerah ini diciptakan Inggris lebih dari seratus tahun lalu, ketika perbatasan Afghanistan ditetapkan, Durrand Line memecah tanah Pashtunistan. Sebagian masuk wilayah Afghanistan, sebagian sisanya masuk wilayah British India yang sekarang jadi Pakistan.

Sesuai perjanjian, suku-suku Pashtun yang mendiami daerah sekitar perbatasan, masih diizinkan untuk memelihara tradisi mereka, mempunyai pemerintahan sendiri, hukum sendiri yang didasarkan hukum adat. Daerah ini kemudian disebut tribal area, yang terdiri dari beberapa agency. Ketika Pakistan berdiri tahun 1947, status tribal area masih dilanjutkan.

Walaupun ada anjuran kepada para tukang bedil di Darra untuk menghasilkan senjata sesuai standar internasional dan regulasi penjualan kepada orang-orang yang mempunyai izin saja, tidak banyak perubahan yang ada. Hukum Pakistan memang tidak berlaku di sini.

Di tribal area, polisi Pakistan tidak mempunyai kekuasaan sama sekali. Yang berpatroli adalah para khasadar, atau tentara suku. Khasadar inilah yang kemudian menciduk saya keluar dari Darra Adam Khel. Orang asing memang tidak seharusnya berada di sini. Saya berhasil menyelundup sejauh ini, tetapi kemudian digiring juga oleh khasadar yang kecewa karena saya tidak memberi tips.

Semula ia meminta 600 Rupee untuk mengizinkan saya keliling Darra selama dua jam, tetapi saya hanya punya 40 Rupee saja di dompet saya. Si khasadar berjenggot tebal dan berjubah hitam itu agak terkejut juga melihat dompet kosong melompong itu. Mungkin karena simpati, mungkin juga karena solidaritas terhadap seorang warga negara Indonesia, si khasadar masih berbaik hati juga mengawal saya untuk melihat-lihat beberapa pabrik bedil yang tersembunyi di rumah-rumah kumuh itu, dan juga berkunjung ke beberapa toko senjata.

Pemilik toko senjata ini, seorang Afridi juga, katanya masih saudara khasadar yang mengawal saya ini. Dia segera menggelar segala macam dagangannya. Ada pistol berbentuk bolpoin, harganya cuma 500 Rupee. Kalashnikov cuma 3000 Rupee. Dan pistol gaya China, kecil dan padat, harganya 5000 Rupee. Senapan laras panjang 1500 Rupee. Saya tak tahu senjata-senjata yang dijual di sini, dengan harga yang mendekati gratis ini, akan tahan berapa hari kalau dipakai.

Semua orang di sini, langsung maupun tak langsung, terlibat dalam bisnis pembuatan dan penjualan senjata. Ada anak-anak umur sepuluh tahunan yang sudah mencangklong potongan-potongan besi untuk bapaknya yang sibuk mengelas dan menatah pegangan bedil. Ada yang membuat cetakan, mempelajari bedil-bedil model terbaru yang bakal laku di pasaran. Selongsong peluru pun jadi kelereng bocah-bocah.

Desing-desing peluru masih terdengar bersahut-sahutan ketika saya meninggalkan Darra. Bahkan supir-supir truk pun tidak mau berhenti ketika saya mencari tumpangan. Semua takut.

Rentetan tembakan membuat saya serasa tiba-tiba berada di Iraq. Pesta tembakan ini hanya kurang dari seratus kilometer jauhnya dari Afghanistan.

Agustinus Wibowo |

Menanti Hujan



          “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.”

Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana.

Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu.

Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada pula lubang pintu tanpa daun pintu, sehingga kambing dan domba pun sering bertandang mencari sesuap rumput yang tercecer di atas pasir di dalam rumah.

Chowra tempat saya tinggal ini istimewa, khusus untuk tempat menginap tamu yang datang. Setiap desa punya minimal satu. Acara kumpul desa atau rapat juga selalu diadakan di sini. Biasanya para pria duduk-duduk di sini dan menghabiskan waktu dengan mengobrol sepanjang sore. Rumah ini disebut otagh, atau kalau dalam versi Indonesia mungkin setara dengan ‘balai desa’.

Ada tiga charpoy, dipan kayu beralaskan tali tampar. Jamal menyiapkan kasur kumal dan selimut berdebu di atas salah satu charpoy, tempat tidur saya malam ini. Debu dan pasir langsung mengepul tebal begitu kasur ini ditepuk.

          “Jangan kuatir, pasir ini adalah makanan sehari-hari kita di sini,” hibur Jamal.

Kami duduk di luar otagh, menikmati senja yang mulai membungkus angkasa. Sejauh mata memandang, hanya gundukan pasir kuning menghampar sejauh batas cakrawala. Angin gurun terus bertiup kencang. Saya sudah kenyang. Mulut dan kerongkongan ini penuh butir-butir pasir.

Betapa muram kehidupan di sini, batin saya.

          “Kamu harus datang ke sini waktu hujan turun,” sanggah Jamal, “gurun pasir yang gersang ini seketika berubah menjadi dataran hijau yang cantik. Thar akan berubah wujud menjadi Kashmir.”

Tetapi kapan? Tiada yang tahu. Semua hanya bisa menunggu datangnya mukjizat. Jamal pun miris dengan kenyataan bahwa bertahun-tahun sudah hujan tak turun juga di Ramsar. Mimpi tentang pemandangan surgawi ketika tanah tandus ini berubah menjadi Kashmir yang hijau, terus hidup dalam penantian panjang ini.

Hujan biasanya datang antara bulan Juni dan Agustus, maksimal hanya tiga atau empat kali setahun. Bersamaan dengan penduduk yang bersuka ria mendapat kiriman air dari langit, ular-ular pun keluar dari persembunyiannya, merayap di permukaan bukit-bukit pasir Thar yang lembut.

Sehabis musim hujan, datanglah musim dingin yang sejuk. Itulah musim kawin di Tharparkar.

          “Kamu harus ke sini menghadiri acara pernikahan tradisi kami,” kata Jamal penuh semangat, “kami semua menari dan bernyanyi, merayakan acara pernikahan yang penuh kebahagiaan.”

Pernikahan di gurun ini biasanya dengan sesama warga satu desa. Di pedalaman Pakistan, tidak ada acara pacar-pacaran. Semua pernikahan ditentukan oleh orang tua, dan biasanya masih sesama kerabat. Di gurun Thar, sebuah desa biasanya dihuni oleh warga satu klan. Di belahan lain Pakistan, pengantin wanita selalu dibungkus purdah atau cadar sehingga tidak terlihat sama sekali oleh kaum pria. Tetapi di desa Thar, karena semua warga desa berkerabat, purdah hanya jadi sebatas syarat saja.

Bercakap-cakap tentang mimpi indah datangnya hujan membasahi gurun kerontang ini memang tidak akan ada habisnya. Tetapi perut saya sudah terlalu penuh oleh bulir-bulir pasir halus. Malam pun sudah menjelang. Langit kelam bertabur ribuan bintang berkelap-kelip. Jamal mengajak saya kembali masuk ke otagh dan menyalakan lampu minyak.

Ini pun perlakuan istimewa buat saya. Warga desa biasanya sudah berpuas dengan lampu senter baterai mungil, ditambah pancaran sinar rembulan dan bintang. Jamal menyiapkan nasi dan tomat goreng penuh minyak. Ini pun makanan istimewa, karena penduduk lokal paling mewah makan chapati dan kacang lentil. Kami makan di atas kasur, yang sudah dialasi selembar taplak. Penduduk desa yang lain makan di atas tanah. Angin gurun mengantarkan lagi ribuan bulir pasir halus, yang bercampur dengan minyak makanan. Seperti kata orang, pasir adalah makanan pokok di sini.

Lampu minyak berkelap-kelip. Muhammad Rahim, bocah desa berumur empat tahun, menggambar-gambar di atas tanah. Bapaknya memandang sayu, bermimpi kelak si bocah akan menjadi pemimpin besar yang membawa terang ke kegelapan pedalaman Thar ini.

          “Anakku, belajar yang rajin, jadilah menteri, nanti kau bawa listrik ke desamu ya...”

Pedalaman Thar juga menghasilkan orang besar. Seorang putra daerah dari Mithi sekarang menjadi pemimpin departemen di Karachi. Semua penduduk Tharparkar menaruh harapan besar di pundaknya. Tetapi desa pedalaman macam Ramsar mungkin harus menunggu datangnya listrik di sini berpuluh-puluh tahun lagi.

Kelap-kelip lampu minyak mengundang ribuan tamu tak diundang. Serangga-serangga gurun yang hitam dan berkulit keras datang beterbangan ke kasur kumuh saya. Ukurannya pun besar-besar. Ada kumbang dan semut yang sebesar telapak tangan. Disenggol serangga ini pun cukup membuat perih. Belum lagi kambing-kambing yang ikut masuk ke dalam otagh, mencari serpihan makanan pengganjal perut. Saya tidur bersama serangga dan kambing. Terkadang kaki saya dijilati. Terkadang kumbang menjejak marah di atas wajah saya. Terkadang kambing mengembik memilukan hati.

Tetapi saya malah tertidur lelap sekali.

Pria Menganggur Berisiko Mati Lebih Cepat

Penganggur mengalami tingkat stress lebih tinggi dan mempengaruhi status sosioekonomi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eran Shor, profesor sosiologi dari McGill University, Montreal, Kanada, pengangguran menaikkan risiko kematian prematur hingga 63 persen. Kesimpulan ini diambil setelah melakukan survey terhadap 20 juta orang di 15 negara, umumnya negara-negara barat, selama 40 tahun terakhir..
Yang menarik, meski sistem kesehatan di sejumlah negara sudah lebih baik dan berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kematian, korelasi antara pengangguran dan risiko tinggi kematian terjadi di seluruh negara yang disurvei. Riset ini sendiri bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan sebab akibat antara pengangguran dan risiko kematian.

“Sampai saat ini, salah satu pertanyaan besar adalah seputar kondisi kesehatan yang ada seperti diabetes, masalah jantung, atau perilaku buruk seperti mengonsumsi rokok, minuman keras, atau obat terlarang menjurus ke pengangguran dan risiko kematian yang lebih besar,” kata Shor, seperti dikutip dari MedIndia, 7 April 2011.

Yang menarik, kata Shor, dari penelitian diketahui bahwa kondisi kesehatan yang sudah ada (sebelum survei) tidak berpengaruh. Ini mengindikasikan bahwa hubungan pengangguran dan kematian menjadi hubungan sebab akibat.

“Kemungkinan, penganggur mengalami tingkat stress yang lebih tinggi dan mempengaruhi status sosioekonomi seseorang,” kata Shor. “Ini menjurus ke kondisi kesehatan yang memburuk dan tingkat kematian yang lebih tinggi,” ucapnya.

Dari penelitian juga diketahui bahwa pengaruh pengangguran terhadap tingkat risiko kematian dan tingkat kematian pada pria lebih tinggi dibanding wanita. Angkanya mencapai 78 persen pada pria dan hanya 37 persen pada wanita. Risiko kematian ini cukup tinggi khususnya bagi mereka yang berusia di bawah 50 tahun.

Entri Populer