rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Rabu, 15 Juni 2011

Menerangi Kegelapan Hati

18 0 Nihil


Oleh: Sholih Hasyim
Seorang profesor, yang sedang naik daun namanya, tiba-tiba dilanda kekalutan batin dan keresahan jiwa. Ia merasa ada yang kurang dalam dirinya, sekalipun berlebihan dalam aspek karir dan income.
Tak urung, ia memutuskan untuk meninggalkan karirnya yang cemerlang di Universitas Nidzamiyah dan memburu kebutuhan lain yang dirindukannya – jawaban yang tuntas atas keresahan dan keguncangan batinnya -. Ia jatuh sakit, mulutnya membisu, tetapi pikirannya terus bergejolak dan bergolak. Ia menyedekahkan seluruh hartanya, kecuali sedikit saja untuk keperluannya dan keluarganya. Baghdad, kota yang memberikan keharuman namanya, ia tinggalkan. Ia mengasingkan diri untuk menjawab pertanyaan besar yang sedang merisaukan hatinya – cara apakah yang dapat ditempuh hingga sampai kepada pengetahuan yang benar (al-Haqiqah al-Muthlaqah)?.
Ia berkesimpulan. Pertama, ia meamandang bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh lewat pencerapan panca indera (al-khawasul khams). Yang benar adalah yang dapat dilihat, didengar, dicium, dicicipi, atau diraba. Yang benar adalah yang terukur (al-Haqiqah At-Tajribiyyah). Dengan bergulirnya waktu, segera ia menemukan bahwa persepsi inderawi juga tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Ia bertanya kepada dirinya – atas dasar apa harus mempercayai keterangan persepsi inderawi. Dari kejauhan matanya melihat air lewat jendela kendaraan yang dinaikinya, setelah didatanginya ternyata hanya fatamorgana. Matanya melihat bayangan tongkat itu tidak bergerak, padahal orang tahu bahwa bayangan itu bergerak perlahan sekali mengikuti bayangan matahari. Dan matahari kelihatan kecil, padahal lewat perhitungan geometris, matahari lebih besar dari bumi.
Kedua, kekeliruan indera dibetulkan oleh akal yang sehat (al-‘Aqlus Salim). Sekarang ia mencurahkan harapannya kepada akal. Tapi, ia segera membayangkan bahwa persepsi indera yang ditinggalkannya menghujatnya dengan keras: Apakah Anda tidak mengira bahwa kepercayaan Anda pada akal akan mengalami hal yang sama seperti kepercayaan Anda pada persepsi inderawi sebelumnya ?. Anda lalu mempercayai saya. Lalu, datanglah akal, dan saya terbukti salah. Kalau tidak ada akal, Anda akan selalu menganggap saya benar. Akal mendefinisikan bahwa bahagia itu berbentuk benda (materi) yang bisa dicari di tempat tertentu dan pada waktu khusus. Setelah semuanya diperoleh dan berlebih, terbukti kebahagiaan yang diburunya semakin menjauh. Akal lemah dalam menjawab pertanyaan kembarannya, untuk apa semua itu di cari?.
Ketiga, barangkali dibalik pemahaman akal, ada lagi hakim lain yang bila menampakkan dirinya, dapat menunjukkan kesalahan akal dalam menetapkan keputusan, seperti ketika akal muncul, akal memperlihatkan kekeliruan indera. Kenyataan bahwa pemahaman - supra-intelektual, supra-rasional - (indera keenam, red) itu belum muncul, tidaklah dapat dijadikan bukti bahwa hal itu tidak ada.
Akhirnya, Selama berbulan-bulan, profesor ini merenungkan masalah ini. Ia hampir-hampir putus asa. Pemecahan masalah ternyata tidak lewat berpikir dan merenung. Ia bercerita, Penyelesaian masalahku tidaklah datang karena pembuktian yang sistematis dan argumentasi yang dikemukakan, tetapi karena belum ada cahaya yang dimasukkan Allah Swt ke dalam dadaku.
Cahaya itu merupakan kunci menuju bagian pengetahuan yang lebih besar. Cahaya itu sendiri bukanlah ungkapan kebenaran. Kebenaran itu harus dicari, tetapi kini ia telah menemukan keterbatasan akal. Dia telah menguras kekuatan intelektualnya, namun berakhir dalam keputusasaan, ketika sentuhan ghaib Tuhan menyelematkannya dari kesesatan. Dorongan mendadak keimanan ini nampak olehnya berasal dari pencerahan Ilahi sebagai suatu cahaya pembawa harapan. Baginya, hal itu berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran bergantung sekali pada sesuatu yang berada di luar logika dan aturan-aturan penalaran. Sebagai sesuatu yang lebih tinggi daripada nalar sebagai alat penghubung dengan kenyataan metafisik, mesti ada pada manusia, dan meskipun aktifitasnya bergantung pada bunga api Ilahi toh ia sendiri memampukan pencari yang gigih mencapai pengetahuan tentang kenyataan dan tentang Tuhan.
Profesor tersebut adalah sang Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Yang meresahkannya adalah masalah epistemologi (fahmul ‘ilmi), yang mengobatinya adalah sentuhan hidayah (Nur) Ilahi. Al-Ghazali boleh disebut sebagai salah seorang pemikir Islam yang merintis kajian epistemologi dalam perspektif Islam. (dalamHilyatul Auliya, juz 11)

Installkan Kejujuran (Nikmati Dampak Sistemiknya)

OPINI | 16 June 2011 | 07:32 18 1 Nihil



ada tulisan lama yang masih relevan dalam situasi saat kini. baru saja bangsa kita dipermalukan di mata dunia oleh hasil survey terbaru world justice project bahwa negera indonesia adalah negara terkorup kedua secara regional. salah satu indikatornya adalah diusirnya ibu siami dan alif dari kampung halamannya. ini berarti diusirnya kejujuran dari akar budaya kebenaran. bisa dikatakan bahwa negara kita ada dalam keadaan darurat kejujuran. ayo installkan kejujuran, silahkan nikamati dampak sistemiknya:
Memberantas Korupsi dengan “JUJUR”*
Ada sebuah peristiwa penuh hikmah ketika seorang sahabat baru masuk Islam. ”Pada suatu hari datanglah seorang arab badui menghadap Rasulullah SAW. Ia meyatakan diri ingin masuk agama Islam. Namun ia mengajukan syarat ingin masuk Islam tapi tidak mau meninggalkan kebiasaan (buruk) lamanya seperti berzina, minum-minuman keras dan mencuri. Rasulullah SAW dengan ramah dan bijaksana memperbolehkan orang tersebut masuk Islam tapi dengan syarat juga yaitu ia harus ”jujur” serta bersedia sholat berjamaah di masjid. Sebuah syarat yang sangat mudah pikirnya, kemudian ia terima dengan gembira. Sejak itu resmilah ia menjadi seorang muslim. Setiap usai sholat berjamaah dan pemberian pelajaran tentang Islam si arab badui tersebut selalu ditanya aktivitas kesehariannya. Maka ia pun dengan jujur menjawab bahwa ia masih melakukan kebiasaan lamanya itu. Ia tidak bisa berbohong sebab ia telah berjanji untuk jujur. Singkat riwayat dengan konsisten (istiqomah) mengamalkan ”jujur”, seorang arab badui akhirnya berhasil secara alami meninggalkan kebiasaan (buruk) lamanya sehingga ia sukses menjadi muslim sejati”. Sebuah syarat masuk agama Islam yang sepertinya sepele tetapi sungguh sangat dahsyat efeknya.
Islam adalah agama sempurna (baca: penyempurna) yang diturunkan sebagai rahmat bagi alam semesta ‘ditranskrip’ dalam Al-Qur’an kepada manusia pilihan (Insan Kamil) Muhammad SAW mulai usia 40 tahun. Seperti kita ketahui bahwa pada usia 40 tahun lah Muhammad memperoleh mandat sebagai Nabi dan Utusan Allah karena sebelumnya beliau berhasil mempertahankan gelar honoris causa “al-Amin” atau manusia paling “jujur” dari kaum Quraisy. Gelar kehormatan bidang akhlaqul karimah ini dianugerahkan dengan kesadaran penuh dari semua kalangan pada kurun waktu itu tanpa kecuali. Bayangkan setidaknya selama 40 tahun lebih beliau tanpa cacat mempertahankan gelar itu dengan yudisium ”summa cumlaude”. Oleh sebab itu, sangat logis apabila Rasulullah SAW mensyaratkan harus jujur kepada orang badui yang ingin masuk Islam tersebut.
Ketika Muhammad SAW mendapat gelar Nabi dan Rasulullah maka saat itu menandai mulai masuknya ajaran keimanan dan keislaman dalam spirit ”jujur”. Ketika itu beliau hadir pada zaman jahiliyah. Banyak orang menyebutnya zaman kebodohan. Zaman jahiliyah adalah masa yang penuh kesombongan dan kebohongan. Masa yang penuh keserakahan. Kondisi seperti itu kira-kira sama suasananya dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Bangsa Indonesia saat ini adalah bangsa yang sungguh sangat ironis, kritis dan krisis dalam semua aspek di tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Namun tragisnya bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya pemeluk agama Islam itu menduduki peringkat atas dalam budaya korupsinya. Predikat tersebut masih terus bertahan walaupun sudah mengalami ”reformasi” yang melelahkan.
Budaya korupsi sama dengan budaya jahiliyah (baca: budaya pembodohan) seperti budaya tidak adil, budaya penindasan dan budaya mengurangi timbangan (baca: budaya mark up). Istilah korupsi sendiri berasal dari kata ”corupt” atau ”coruption” yang artinya merusak (”fasad” dalam bahasa Arab), curang, merubah, memanipulasi, mengurangi, mencuri atau lebih tegasnya ”maling”. Jadi kesimpulannya bahwa koruptor itu adalah orang yang membuat kerusakan di muka bumi yang selayaknya disebut penipu atau maling.
Ada baiknya kita belajar dari film fiksi holywood yang berjudul ”intranskrip” (? mohon maaf kalo tidak persis) yang pernah disiarkan di televisi swasta Indonesia. Film ini bercerita tentang suatu formula untuk merubah sistem kehidupan secara sistematik dan otomatis. Formula tersebut diambil dari kitab Taurat. Ketika formula itu di-”install”-kan maka seluruh aspek kehidupan berubah secara berantai langsung maupun tidak langsung baik sadar atau tidak sadar. Penulis terinspirasi dengan film tersebut. Kemudian terpikir kira-kira formula apa yang bisa kita ”install”-kan untuk merubah budaya korupsi/jahiliyah di Indonesia saat ini.
Akhirnya penulis membuat hipotesis berdasarkan fakta dan model diatas baik dalam konteks budaya atau bernegara. Adalah ”jujur” sebagai nilai luhur Islam yang telah dicontohkan Muhammad SAW bisa dijadikan sebuah formula untuk memutus lingkaran setan dalam pemberantasan korupsi. Sebuah kunci pemecahan yang sederhana tetapi memiliki dampak yang efektif, berantai serta sanggup menjadi solusi permasalahan lain dan seluruh turunan permasalah tersebut. Maka penulis optimis hanya ada satu kata untuk perubahan revolusioner yang alami (sesuai fitrah dan kodrat alam) adalah “jujur”.
Sampai saat ini penulis belum menurunkan formula tersebut pada tingkatan yang lebih praksis, terutama bagaimana teknisnya meng-”istall”-kan formula tersebut. Namun demikian kita dapat memulainya sekarang juga dari diri sendiri dalam hidup bermasyarakat yaitu budayakan hidup “jujur”. Tradisikan berprilaku “jujur”. Biasakan berlaku ”jujur”. Sampaikan ”Kebenaran” dengan ”jujur”. Tegakkan kemuliaan Islam dengan “jujur. Selamatkan diri Anda dengan ”jujur”. Maka janji-Nya dalam al-Qur’an surat al-Fath ayat pertama yaitu, ”Inna fatahna laka fathan mubiinaa” menjadi sebuah yang niscaya.
Formulasi ”jujur” tersebut dapat diujicobakan dalam sistem rekrutmen dan pembinaan bagi para penyelenggara negara. Misal, adanya suatu test kejujuran untuk para calon pejabat dan training kejujuran untuk para pejabat baru. Jujur bukanlah berarti membuka aib sendiri. Rahasia negara/perusahaan/rumahtangga adalah aib yang harus ditutupi dari pihak luar. Transparansi pengelolaan negara/perusahaan/rumahtangga adalah bentuk ke”jujur”an dari dalam. Resiko tidak menjalani ke”jujur”an adalah tumbuhnya budaya jahiliyah (baca: pembodohan dan penindasan). Formulasi untuk suatu perubahan yang sistematik dan kongkrit menuju baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur adalah “jujur” (Islam Code). Mulailah sekarang juga untuk ”tidak bebohong” (”jujur”). Hal ini berlaku bagi siapapun untuk berjuang terus mengamalkan ”jujur” secara istiqomah, karena berjuang (jihad) tidak mengenal kata menyerah. Semoga kita dapat mengamalkannya.
Formula ini sudah teruji keberhasilannya setidaknya dari dua contoh berikut. Pertama adalah contoh sukses yang berhasil secara monumental yaitu ”qurun” Rasulullah SAW pada 14 abad yang lalu. Hasil kongkretnya peradaban jahiliyah berubah menjadi peradaban Islam meliputi tiga benua secara revolusioner dalam waktu relatif sebentar. Contoh kedua adalah kemajuan masyarakat Jepang. Berdasarkan studi kilat penulis dapat disimpulkan bahwa saat ini peringkat pertama teratas bangsa paling “jujur” di dunia adalah bangsa Jepang dengan nilai 90%. Mayoritas penduduknya bukan muslim tetapi apabila seseorang kehilangan dompetnya di tempat umum maka 90% kemungkinannya kembali dalam waktu kurang lebih 15 menit. Peringkat kedua terbawah bangsa paling ”jujur” adalah Indonesia dengan nilai 10% yang notabene 90% penduduknya penganut agama Muhammad SAW yaitu Islam. Bagaimana bukti dan hasilnya? Kongkrit dan bisa disaksikan oleh mata kepala sendiri. Maka tidak bisa dinafikan bahwa ”jujur” adalah syarat bagi terwujudnya peradaban gemilang. ”Jujur” adalah sebuah kunci (formula) sekaligus pra-syarat yang tidak bisa ditawar lagi untuk pemberantasan budaya korupsi di Indonesia. Wa Allahu a’lamu bi al-showaabi.
Oleh: Amin Bunyamin (aktivis KMNU)
Sumber : gusmus.net
~Ayo BERJIBAKU !!! (BERsatu JIhad BerAntas KorUpsi) dengan ”JUJUR

Entri Populer