rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Kamis, 06 Januari 2011

imajinasi masa dini

Perlahan-lahan ada yang sedang berubah dari dunia anak-anak di sekeliling kita. Sebuah pergeseran yang terjadi dalam imajinasi mereka, juga ketertarikan, dan harapan-harapan. Kebudayaan anak-anak Indonesia tak mungkin lagi dianggap sebagai ruang sempit yang hanya berisi produk-produk kultural yang ditafsirkan sebagai “asli Indonesia”. Suka atau tidak, kita sedang menyaksikan anak-anak itu memasuki satu ranah budaya baru: sebuah lanskap kultural yang pernah disebut Marshall McLuhan sebagai “dusun global”.

Pemikiran ihwal pergeseran itulah yang hadir di kepala saya, menjadi satu kesimpulan sementara tentang dunia anak-anak paling kontemporer di Indonesia, ketika saya memandangi satu demi satu lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam Pameran Lukisan Anak dan Remaja 2009. Pameran yang diadakan di Balai Soedjatmoko, Solo, pada 22-28 Juli 2009 itu bisa menjadi bahan refleksi mendalam tentang wajah anak-anak Indonesia hari ini. Diikuti sekira 27 pelukis yang masih menempuh pendidikan di taman kanak-kanak sampai SMA, pameran yang kebanyakan menampilkan lukisan realis tersebut merupakan cermin bening tentang imajinasi, harapan, juga dunia yang paling dekat dengan anak-anak di Indonesia.

Secara umum, obyek yang menjadi bahan lukisan dalam pameran itu memang bervariasi: pemandangan sawah dan gunung, tokoh kartun, binatang, dunia sosial manusia, garis dan komposisi abstrak, serta pelbagai ihwal lain. Tapi dipandang dari sudut yang lebih jeli, ada kecenderungan lukisan-lukisan dalam pameran tersebut menampilkan anasir-anasir dari kebudayaan yang bisa dikatakan sebagai “bukan asli Indonesia”.

Lukisan berjudul Dream karya Ines Pramesti (SMP 12 Surakarta), misalnya, menampilkan dua sosok dengan karakter fisik mirip tokoh kartun Jepang. Dalam lukisan itu, kita akan melihat seorang gadis berkuncir dua ala komik Jepang sedang duduk di atas bulan sabit. Di sampingnya, ada seorang peri bersayap—yang penampilan fisiknya lagi-lagi mengingatkan saya pada tokoh-tokoh anime—sedang terbang, sambil membawa tongkat sakti dengan bintang di ujungnya. Bahkan jika kita mengabaikan fisik sang gadis dan perinya, kita tetap menjumpai konsep yang cukup asing dalam kebudayaan Indonesia. Peri, contohnya, bukanlah berasal dari khasanah cerita rakyat kita—juga kata “dream” yang menjadi judul lukisan itu.

Hal yang sama saya temukan dalam Little Lily in Candy Line karya Elaine Pricillia Halim (Focus Independet School). Lukisan sederhana ini menampilkan seorang gadis berkepang dua dengan baju terusan dan rompi sedang duduk di tanah, di dekat sejumlah permen yang berjejer-jejer. Entah dari mana Elaine memungut kisah tentang Lily kecil ini, tapi yang pasti: ia bukanlah warisan kultur nusantara. Demikian pula Pooh and Piglet-nya Yurika Sugiarto (SD Kalam Kudus), Ferrari-nya Eric Raharjo (SD Kalam Kudus), Istana Cinderella-nya Emilee Elaine Budhi (Singapore Piaget Academy), Hello Kitty-nya Shanice Lau (SD Kanisius Keprabon II Solo), dan sejumlah karya lain.

Tentu saja ada yang melukis dengan nuansa-nuansa Indonesia, semisal Bebek Adus Kali-nya Audrey Kusnadi, Aku Anak Indonesia-nya Maria Jessica (SD Kanisius Keprabon II Solo), Membatik-nya Yahya Natania Irawan (TK Pelita Kasih Nusantara, Solo), atau Solo Batik Carnival karya Michelle RP Pangemanan (tamat dari TK Warga). Tapi sebagian dari lukisan-lukisan itu menampakkan semacam jarak antara pelukis dan karyanya—ada semacam ketidakakraban yang saya temukan dalam karya-karya itu.

Dalam Membatik, misalnya, hadir seorang perempuan yang sedang membatik dengan canting, di bawah sebuah pohon. Di belakangnya, ada pemandangan indah terbentang: langit warna-warni yang dipenuhi sinar matahari. Memandangi lukisan ini, saya menduga bahwa Yahya tidak akrab dengan dunia batik, sebab para pembatik sesungguhnya tak pernah—atau minimal jarang sekali—membatik di alam terbuka. Lagi pula, para pembatik biasanya bekerja secara kolektif, tidak sendirian. Imajinasi Yahya tentang proses membatik, agaknya dirancukan dengan proses melukis ala Barat. Secara visual, dalam film atau acara televisi lain, kadang kala digambarkan seorang yang melukis di tengah alam terbuka hijau yang indah—persis dengan latar dalam Membatik.

Barangkali kita bisa maklum: sebab Yahya, yang melukis Membatik, masih seorang murid taman kanak-kanak. Tapi paling tidak, kita bisa menyimpulkan: dunia batik tradisional bukanlah wilayah yang benar-benar diakrabi anak-anak Indonesia sekarang. Mereka lebih akrab dengan komik atau kartun, sehingga, tidak bisa dihindari, dua hal itulah yang lebih fasih mereka bicarakan atau lukiskan.

Simak lukisan Naruto dkk yang mencampurkan tokoh-tokoh dari kartun Naruto dengan dunia sosial khas kampung Indonesia. Lukisan karya Ivan Kristiawan Eddyanto (SD Kanisius Keprabon II Solo) ini menghadirkan Naruto sebagai petugas kebersihan yang sedang mengemudikan gerobak sampah, Sakura sebagai penjual jamu gendong, dan Sasuke sebagai pemuda desa yang sedang membetulkan genteng rumah. Ada beberapa tokoh lain dari kartun itu yang juga hadir: ada yang berperan sebagai pemulung, tukang becak, dan pemuda yang sedang mengayuh sepeda onthel.

Naruto dkk adalah lukisan paling unik yang saya temui dalam pameran ini. Saya terpesona dengan kefasihan Eddy melukis tokoh-tokoh kartun itu dan memaukannya dengan unsur-unsur lokal, sehingga akhirnya saya menerima—meskipun awalnya terkejut—kehadiran Naruto sebagai petugas kebersihan, atau Sakura yang pemberani itu sebagai penjual jamu gendong. Seolah-olah, keduanya dan juga kawan-kawan mereka bukanlah jagoan dari sebuah negara asing, tapi orang-orang biasa dari suatu kampung yang dekat. Imajinasi Eddy menarik, juga kemampuannya mencampurkan “anasir asing” dengan ihwal yang berada di dekatnya.

Kemampuan mencampurkan semacam itulah, terutama dalam seni meski tak terbatas hanya di wilayah itu, yang barangkali bisa menjadi penawar bagi mereka yang gelisah terhadap ketertarikan dan kedekatan anak-anak Indonesia masa kini dengan “budaya luar”. Sebab sesungguhnya, kita tak pernah mungkin lagi membatasi anak-anak itu untuk hanya mencicipi “dunia lokal” seperti laiknya orang-orang tua mereka lampau. Televisi, internet, juga sumber-sumber informasi lain, telah tersedia dan berada dalam jangkauan mereka, semenjak lahir hingga dewasa. Maka, pembatasan semacam apapun akan mudah dijebol—sebab sekali demarkasi itu telah ditembus, susah kita menambalnya kembali.

Oleh karena itu, yang diperlukan adalah sikap kritis, pada setiap produk budaya yang hadir—sikap itulah yang antara lain tercermin dalam lukisan Naruto dkk. Sikap semacam itu yang perlu diupayakan tumbuh pada anak-anak kita, supaya mereka punya bekal cukup saat memasuki dunia baru yang dilimpahi informasi ini. Bagaimanapun, mereka kelak akan menjadi warga dusun global dan hidup di dalamnya, sehingga harus ada upaya kultural mempersiapkan mereka sejak dini menjadi lebih kritis, lebih peka, dan lebih kreatif. Dusun global itu telah di depan mata, dan anak-anak tersebut sedang memasukinya. Lalu, akankah kita diam saja?

Sukoharjo, Juli 2009
Haris Firdaus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer