rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Sabtu, 10 November 2012

Sepak Terjang Esemka









Belum lengkap rasanya jika kita tidak mengetahui perjalanan panjang Esemka sebelum akhir ramai dipesan.

Mulanya, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) meluncurkan program yang memiliki makna pembelajaran ekonomi kreatif. Dari situ para siswa SMK yang ada di Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah karya.

Para siswa SMK mulai belajar merakit mobil secara utuh, dengan komponen yang diambil dari berbagai merek mobil. Saat itu hanya diikuti oleh lima SMK, yakni SMK 2 Surakarta, SMK 5 Solo, SMK Warga Solo, SMK Singosari Malang dan Muhamadiyah Borobudur.

Sambil merakit mobil secara utuh, 5 SMK tersebut berpikir untuk membuat komponen lokal. Masuk tahun 2009 terjalinlah kerjasama dengan berbagai perusahaan terutama para UKM yang berada disekitar SMK sehingga program ini berkembang menjadi 23 SMK di seluruh Indonesia.

Di penghujung 2009, 23 SMK itu berhasil membuat 200 unit mesin dan pada 2010 mulai belajar membuat sasis yang bekerjasama dengan UMS (Universitas Muhamadiyah Surakarta). Mereka akhirnya berhasil memproduksi 1.000 unit mesin.

Perjuangannnya mulai meningkat sejak 2011, para siswa SMK ini mengikuti pameran-pameran di beberapa kota besar di Indonesia. Terutama kreativitas anak-anak sekolah Solo.

Saat itulah, Mantan Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) beserta Wakil Walikota Solo menyatakan untuk menggunakan mobil Esamka sebagai kendaraan operasional Walikota dan Wakil Walikota Solo.

Pada 2 Januari 2012, SMK menyerahkan dua unit Esemka Rajawali ke Walikota Surakarta dari SMK 2 dan SMK Warga Surakarta. Kemudian 25 Februari 2012, Walikota Solo membawa mobil Esemka ke Jakarta untuk melakukan uji emisi.

Tapi hasilnya tak menggembirakan, Esemka dinyatakan tidak lolos. Tak mau putus asa, mereka memperbaiki kekurangan yang ada.

Mobil Esemka akhirnya lulus uji register dan telah mendapatkan Sertifikat Registrasi Uji Tipe Kendaraan Bermotor Nomor SK 389/AJ.402/DRJD/2012 per 18 Oktober 2012.

Esemka menjalani uji di Balai Pusat Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB) di Perhubungan Darat Kemenhub pada 24 September 2012. Sedangkan untuk uji emisi di Balai Termodinamika, Motor dan Propulsi (BMTP) di bawah BPPT tanggal 19 September.


Selasa, 30 Oktober 2012

Gerakan Peduli Lokananta Lewat Tagar #SahabatLokananta






Studio rekaman pertama dan terbesar di Indonesia, Lokananta, telah mencapai usianya yang ke-56 hari ini (Senin, 29 Oktober 2012). Selain sebagai studio rekaman, Lokananta merupakan pusat artefak rekaman lagu/suara di Tanah Air. Seperti dikutip dari rollingstone.co.id, ruang penyimpanan di Lokananta penuh dengan ratusan rak besi yang menyimpan hampir 40.000 piringan hitam dan 5000 master rekaman dari berbagai genre. Pun berbagai rekaman pidato kenegaraan Presiden Soekarno.
Semua koleksi tersebut disimpan dalam ruangan yang tanpa pendingin udara (AC). Beberapa ruangan memang dilengkapi AC, namun hanya bisa digunakan dari pukul 08.00-16.00 WIB, karena tidak adanya budget listrik yang disediakan untuk menggunakan AC tersebut. Mirisnya, Lokananta yang bernaung di bawah BUMN ini tak diberi budget operasional lagi oleh negara (lihat artikel Studio Lokananta, Riwayatmu Kini).
Untuk menunjang biaya operasional dan gaji karyawan, Lokananta terpaksa berjualan kaset, CD, menyewakan studio rekaman, latihan dan lapangan futsal. Berangkat dari rasa kepedulian terhadap kondisi dan nasib para karyawan Lokananta, beberapa orang mencoba menggugah kesadaran dan simpati orang-orang akan pentingnya merawat dan melestarikan berbagai koleksi di studio ini dengan menggagas sebuah social movement bernama #SahabatLokananta. Sebelumnya, musisi Glenn Fredly telah hadir dengan gerakan #SaveLokananta.
Dengan kampanye yang disebarkan secara kolektif oleh berbagai komunitas dan personal melalui linimasa ini, diharapkan nantinya dapat membuat anak-anak muda semakin mengenal dan peduli akan pentingnya Lokananta. Tidak hanya di linimasa, gerakan peduli Lokananta ini juga terjadi di dunia nyata. Menurut rencana, malam ini di Borneo Beerhouse, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, akan diadakan konser amal “Sahabat Lokananta” yang akan menampilkan The Upstairs, Endah N Rhesa, TOR, Gugun and the Blues Shelter, dan Karon N’ Roll, yang hasilnya akan disumbangkan untuk Lokananta. Sehari sebelumnya, acara yang hampir serupa juga diadakan di Studio Lokananta, Solo.

sumber; http://m.salingsilang.com/baca/gerakan-peduli-lokananta-lewat-tagar-sahabatlokananta-/?trk=sx_fr_hl_txt

LOKANANTA: Menyelamatkan Musik Indonesia

info image
     Sebuah cerita tentang pabrik piringan hitam sekaligus perusahaan rekaman tertua milik pemerintah Republik Indonesia.

Oleh: Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria
  

Solo - Titik Sugiyanti memandangi ribuan piringan hitam penuh debu di depan matanya. Ruang penyimpanan tanpa pendingin itu penuh dengan ratusan rak besi yang menyimpan hampir 40.000 kaset, vinyl dari berbagai genre. Meski di luar Malaysia berkoar-koar mengakui bahwa lagu “Negaraku” adalah milik mereka, namun Titik yakin, di satu tempat dalam ruangan ini, Lokananta menyimpan versi aslinya.

Setelah hampir seminggu melakukan pemilahan yang melelahkan, akhirnya lagu yang membuat kehebohan tadi ditemukan. Judul aslinya adalah “Terang Bulan” ciptaan Saiful Bahri yang asli orang Indonesia. Dalam arsip Lokananta lagu berdurasi 11 menit 15 detik ini pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin langsung oleh Saiful Bahri.

Pada perkembangannya lagu bernuansa keroncong melayu inilah yang memikat pemerintah Malaysia yang baru merdeka untuk dijadikan lagu negara. Aden Bahri, ahli waris lagu "Terang Bulan" menuturkan bahwa lagu ini dihadiahkan presiden Soekarno untuk Malaysia. “Waktu itu hubungan Indonesia dengan negeri jiran masih sangat baik. Karena lagu ini juga akhirnya ayah saya mendapat penghargaan dari pemerintah Malaysia, fotonya masih ada”.

Cerita kembali terulang. Kali ini adalah lagu “Rasa Sayang Eh” yang muncul di iklan promosi pariwisata Malaysia. Dalam videonya, lagu ini dinyanyikan secara bergantian oleh anak kecil hingga orang tua. Sepertinya lagu ini memang sudah mengakar dalam budaya Malaysia. Tapi tunggu dulu, lagu ini –baik lirik dan nadanya- tidak lain adalah lagu tradisonal “Rasa Sayange” yang kita kenal hingga hari ini berasal dari Maluku.

Masyarakat Indonesia seperti disulut urat marahnya, saat tahu tetangga sebelah kembali memakainya tanpa permisi. Lokananta pun kembali beraksi, menjadi pahlawan untuk kedua kali. Ternyata setelah ditelusuri lagu “Rasa Sayange” tersebut masuk dalam kompilasi Asian Games: Souvenir From Indonesia. Album ini merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962, Malaysia salah satunya.

Saat kasus klaim Tari Pendet oleh Malaysia pun Lokananta kembali bisa menunjukkan bukti, bahwa pendet adalah budaya asli milik Indonesia. Lokananta yang semula hilang pun akhirnya muncul di permukaan. Perusahaan rekaman yang terletak di jantung kota Solo ini ramai dibicarakan oleh media. Sayangnya itu tidak banyak merubah keadaan. Sebagai salah satu perusahaan rekaman tertua di Indonesia, Lokananta adalah sebuah kehidupan purba. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi seakan tidak terasa disini.

Tidak seperti gambaran perusahaan rekaman yang hip serta memajang deretan musisi muda berwajah segar, Lokananta adalah kebalikannya. Perusahaan rekaman tertua milik pemerintah ini hanya menyisakan sebuah nama besar. Gedung utamanya yang bergaya art deco seperti mengamini. Kusam dan muram. Waktu seperti berjalan lebih lambat di Lokananta.

Ada dua gedung utama yang dimiliki Lokananta; gedung lama dan gedung baru. Keduanya dipisahkan oleh sebuah jalan yang mengarah ke gedung lain milik Lokananta yang saat ini berubah fungsi sebagai lapangan futsal yang disewakan untuk umum. Setahun ini Lokananta memang sedang rajin-rajinnya mengundang masyarakat untuk datang. Lapangan futsal hanya salah satunya. Studio rekaman yang sebelumnya eksklusif, kini dibuka untuk umum. Pun demikian dengan dibukanya Sekolah Musik Lokananta.

Gedung lama Lokananta berbentuk persegi dengan banyak ruang. Di bagian beranda ada toko yang menjual produk rekaman seperti kaset atau CD, tepat di seberangnya adalah ruang untuk pemesanan. Masuk ke dalam, terdapat ruang mastering. Disinilah koleksi-koleki piringan hitam dialihkan ke bentuk CD. Di seberangnya, ruang pimpinan berderetan dengan museum mini yang menyimpan benda-benda memorabilia seperti alat pemutar piringan hitam, mesin pengganda kaset, beberapa koleksi piringan hitam, juga satu partisi yang memajang lagu "Indonesia Raya" tiga stanza beserta sampul piringan hitamnya serta foto Bung Karno yang berdiri gagah. Dua ruang penyimpanan koleksi piringan hitam dan kaset video persis berada setelahnya.

Sedangkan yang disebut gedung baru adalah ruang studio rekaman. Gedung ini dibangun tahun 1980 dan diresmikan lima tahun setelahnya oleh Harmoko, Menteri Penerangan saat itu. Dua buah ruangan di samping studio difungsikan sebagai ruang administrasi dengan perabot sisa-sisa peninggalan zaman Orde Baru, jika menilik pada tahun inventarisasi ditempel. Satu set komputer seperti menjadi penanda adanya modernisasi di Lokananta yang sudah sepuh.

Tidak ada lalu-lalang pekerja seperti kondisi sebuah kantor pada jam kerja. Jumlah pegawai Lokananta hanya 18 orang, dengan jabatan yang kebanyakan berfungsi ganda dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Titik yang sudah 14 tahun bekerja di Lokananta memiliki jabatan sebagai administratur, akuntan, sekaligus humas dan sesekali bagian arsip.

Ini terjadi sewaktu Titik menemukan piringan hitam “Terang Bulan” dan “Rasa Sayange”, keduanya hampir dalam keadaan yang mengenaskan. Penuh debu dan berjamur akibat terlalu lama disimpan. “Akhirnya saya berinisiatif untuk membersihkan seluruh koleksi Lokananta dan menatanya kembali,” kata wanita asli Klaten ini. Hasil kerja bakti Titik dibantu karyawan lain selama setahun ini akhirnya bisa menyelamatkan ribuan koleksi piringan hitam Lokananta dari proses pelapukan.

***

Jika diibaratkan, Lokananta mirip bank sentral dalam industri musik Indonesia. Tidak ada koleksi lagu daerah di Indonesia ini yang lebih lengkap dari Lokananta. Sayangnya tidak banyak dokumentasi dan pengarsipan yang jelas tentang album yang sudah dikeluarkan oleh Lokananta dalam setengah abad terakhir. Apalagi melakukan pendataan ulang terhadap ribuan koleksi lagu yang dimiliki Lokananta bukanlah perkara mudah. Diakui atau tidak, sejak awal hingga saat ini Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang jelas. Banyak sekali dokumen dan perjanjian dengan artis yang saat ini tidak bisa ditemukan lagi.

Beruntung ada seorang peneliti yang peduli. Phillip Yampolsky dalam disertasinya yang berjudul Lokananta: A Discography of The national Recording Company of Indonesia 1957-1985 merunut dengan baik semua koleksi Lokananta. Ia melakukan penelitiannya pada tahun 1980-1982 sebagai disertasi untuk University of Wisconsin. Buku Phillip inilah yang sekarang menjadi kitab suci untuk menelusuri seluruh arsip rekaman yang dimiliki oleh Lokananta.

Dari penelitian Phillip, jenis keroncong, pop dan lagu Melayu mendominasi koleksi Lokananta. Selain itu koleksi lainnya meliputi genre lagu perjuangan, lagu gereja, klenengan, langgam Jawa, degung Sunda, tarling Banyumasan, gandrung Banyuwangi, pop Madura, lagu Batak, hadrah, gambus, hingga siaran propaganda milik Pemerintah RI.

Lokananta juga berperan menyimpan kepingan sejarah perjalanan bangsa ini. Lagu "Indonesia Raya" dalam tiga stanza telah tersimpan lama, jauh sebelum Roy Suryo membuat heboh dengan berbicara di depan infotainment jika dia menemukannya di Leiden. Rekaman pidato Bung Karno pada beberapa acara penting juga bisa ditemukan disini, salah satunya pada Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.

Aden Bahri, anak dari Saiful Bahri, pencipta lagu "Terang Bulan", merasakan betul bagaimana peninggalan ayahnya tadi masih disimpan dengan baik oleh Lokananta. “Awalnya yang bilang Bens Leo waktu kita ngumpul, saya lalu ingat semua lagu di RRI ada back-up-nya di Lokananta”, kata Aden.

Meski demikian, koleksi-koleksi tadi beserta puluhan ribu koleksi lainnya yang jumlahnya hampir mencapai lima ribu lagu dan 40 ribu keping piringan hitam, kondisinya masih mengenaskan. Keping vinyl yang sensitif pada suhu daerah tropis hanya disimpan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang minim.

“Ya cuma buka tutup jendela aja. Pas jam kantor kita buka, pas nanti waktu pulang ditutup lagi”, ujar Titik dengan senyum getir. Untuk mengusir bau apek ini Titik hanya mengandalkan pengetahuan tradisionalnya untuk perawatan darurat. “Saya biasanya mencampur bubuk kopi dan kamper untuk mengusir bau,” kata Titik.

Bandingkan dengan saudaranya, film. Sejak tahun 1975, film Indonesia memiliki Sinematek Indonesia (SI) yang menyimpan dokumentasi perfilman Indonesia, mulai dari materi film, skenario, poster film hingga surat undangan preview film. Untuk menyimpan koleksi film, terdapat ruang penyimpanan khusus yang mempunyai tingkat kelembapan tertentu untuk menjaga film tetap awet.

Bukannya mau menakuti tapi jika terus dibiarkan, lambat laun harta karun musik Indonesia tadi akhirnya habis oleh jamur dan lenyap dimakan zaman. Lokananta kemudian mengambil langkah penyelamatan dengan mendigitalisasi seluruh koleksi piringan hitam ke bentuk audio CD. Baru dua tahun ini hal tersebut berjalan.

Meski telambat tapi langkah ini adalah solusi yang paling mungkin. “Ketika saya masuk, proses digitalisasi ini baru dilakukan”, kata Bemby Ananto dari bagian re-mastering. Lokananta memang kekurangan sumberdaya manusia untuk melakukan hal-hal yang menyangkut teknis. Saat ini sudah hampir 80 persen dari lima ribu koleksi lagu yang dialihkan ke bentuk digital.

Butuh usaha dan kerja keras dalam melakukan proses transfer ini. Sambil bersandar dan diselingi sayup-sayup langgam Jawa hasil transfer , Bemby bercerita bahwa dia sering lembur untuk urusan transfer digital ini. “Setiap hari saya dengerin langgam Jawa dan lagu daerah, awalnya saya ndak suka, tapi karena terbiasa akhirnya suka sendiri,” kata Bemby.

Dulunya ia adalah seorang mekanik. Bahkan sebelum di Lokananta, Bemby sempat bekerja di Jepang selama beberapa tahun. Saat kontrak kerja habis dan Bemby akhirnya pulang kampung, seorang teman menawarkan padanya untuk kerja di Lokanata. Tanpa pikir panjang Bemby menerima saja tawaran temannya.

“Dulu saya nggak bisa sama sekali software rekam digital seperti ini. Akhirnya saya belajar sendiri, otodidak,” kata Bemby. Ia mengaku Lokananta adalah tempat kerja yang ia inginkan, meski masih sering alfa untuk masalah kesejahteraan karyawan. “Saya mau kerja sampai Lokananta bisa kembali besar,” kata pria asli Solo ini.

Menurut Bemby, rekaman lawas produksi Lokananta ternyata juga tidak sepi peminat, meski yang sering datang adalah mereka yang masuk kategori old school. “Sering ada bapak-bapak yang minta ditransferkan satu piringan hitam ke dalam CD dengan format MP3,” kata Bemby yang juga bertugas mengubah album dalam piringan hitam ke dalam bentuk digital.

“Beberapa bahkan jadi kolektor. Ada seorang dari Semarang yang sering datang, setiap kali datang dia minta ditransfer lima vinyl sekaligus,” kata Bemby. Satu lagu dihargai 25 ribu rupiah. Jika ada delapan track dalam satu vinyl, maka biaya transfernya adalah 200 ribu rupiah.

***

Perkembangan teknologi memang ditanggapi secara lambat oleh Lokananta. Selain baru saja mengadopsi teknologi format digital, Lokananta belum beranjak untuk membuat situs sebagai sarana pemasaran digital. Pendi Heryadi, kepala Lokananta, menjelaskan bahwa banyak kendala yang dihadapi untuk melakukan alih teknologi. Hal klise seperti pendanaan dari pemerintah pusat dan kurangnya sumber daya manusia adalah dua masalah utama yang dihadapai Lokananta.

“Kami ini sulit, sebagai sebuah perusahaan negara, ada struktur dan birokrasi yang jelas, sedangkan Lokananta yang jauh dari pusat ini hanya bisa menunggu,” kata Pendi. Dirinya juga menceritakan kalau selama ini pemeliharan peralatan rekaman terpaksa dilakukan secara kanibal. Kembali lagi, ujung-ujungnya dana.

Dalam kantornya yang lengang Pendi menceritakan visinya sebagai nahkoda kapal yang mau karam. “Saat ini kami lebih terbuka, tidak membatasi diri, kami terbuka bagi siapapun yang punya itikad baik,” kata pria kelahiran Kuningan ini. "Kalo nggak ada partner selain pemerintah, terus terang saja kami sulit”, sambungya. Pendi berharap, Lokananta bisa menjadi lembaga register musik Indonesia. “Nanti kan Lokananta akhirnya bisa menjadi semacam perpustakaan musik Indonesia.”

Sebagai kepala Lokananta yang baru, Pendi tidak memiliki latar belakang apa pun yang berkaitan dengan industri rekaman. Awal karir Pendi dirintis sebagai pegawai di Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), institusi yang menaungi Lokananta setelah Departemen Penerangan dibubarkan pada tahun 1998.

Sebelum menjabat sebagai kepala Lokananta, Pendi sebenarnya ditugasi oleh pimpinannya untuk melakukan riset pasar percetakan di Solo. Ternyata ada pergantian kepemimpinan di PNRI pusat. Oleh pimpinan yang baru, Pendi kemudian diangkat menjadi kepala Lokananta yang baru. “Industri rekaman adalah hal baru bagi saya,” kata Pendi yang sebelumnya lebih banyak bergelut di bidang industri grafika. “Pernah selama beberapa minggu saya bengong saja, ndak ngapa-ngapain”, kata Pendi yang baru tiga bulan ini menjabat.

Indonesia di medio 1950-an. Saat itu RRI masih menjadi raja, radio dengan jangkauan paling luas dengan segmen pendengar dari semua umur. Program utamanya berupa siaran berita dan pemutaran musik permintaan dari pendengar yang dikirim melalui lembar pilihan pendengar. Nama-nama musisi besar seperti Nat King Cole, Frank Sinatra, dan Elvis Presley merajai chart musik RRI, mengalahkan penyanyi lokal seperti Titim Fatimah yang beken dengan pop Sunda-nya.

“Saya juga lebih suka Nat King Cole waktu itu, Titim Fatimah kan ndak enak, ha ha ha”, kata R. Iman Muhadi (72), pensiunan staf Direktur Utama dan Humas Lokananta.

R. Maladi, Direktur RRI Jakarta saat itu pun terlihat resah melihat kenyataan bahwa lagu Barat mendominasi pasar pendengarnya. Maladi lalu menginstruksikan kepada 49 jaringan RRI di seluruh Indonesia untuk mengirimkan rekaman lagu daerah masing-masing. Setiap stasiun lokal minimal mengirimkan dua buah lagu.

Dalam waktu singkat, RRI memiliki 98 buah lagu daerah dari seluruh pelosok Nusantara. Seluruh koleksi itu akhirnya diperbanyak dalam bentuk piringan hitam dan disebarkan kembali ke seluruh cabang RRI di seluruh Indonesia. Pabrik pengganda pringan hitam yang awalnya hanya memenuhi kebutuhan siaran RRI inilah cikal bakal Lokananta.

Maladi, yang pernah diangkat menjadi Menteri Penerangan selama dua periode (Kabinet Kerja I dan Kabinet Kerja II), bersama dua rekannya R. Oetojo Soemowidjojo dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero yang masing-masing menjabat sebagai Kepala Studio dan Kepala Teknik Produksi RRI Surakarta pun berinisiatif mendirikan pabrik piringan hitam milik pemerintah. Akhirnya, tepat pada tanggal 29 Oktober 1956 pukul 10 pagi waktu Jawa (sekarang WIB), Lokananta resmi berdiri di Solo. Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementrian Penerangan Republik Indonesia di Surakarta, begitu nama lengkapnya.

Sebelum Lokananta, perusahaan piringan hitam ini bernama Indra Vox. Indra adalah singkatan dari Indonesia Raya, sedangkan Vox adalah bahasa latin yang artinya suara. “Sayangnya nama Indra Vox ini ditolak oleh Presiden Soekarno, soalnya menurut beliau ndak jelas,” kata Muhadi. Setelah mencari berbagai nama pengganti, akhirnya Maladi menyebut Lokananta, seperangkat gamelan surgawi yang bisa berbunyi sendiri dengan nada yang indah. Alat musik ini terletak di negeri Suralaya, negeri para dewa menurut mitos pewayangan Jawa. Presiden Soekarno setuju. Entah ada hubungannya atau tidak, namun hingga hari ini seperangkat gamelan Kyai Sri Kuncoro Mulyo yang ada dalam ruangan studio Lokananta seringkali berbunyi sendiri. Bisa jadi memang benar; nama adalah doa.

Selain Lokananta, saat itu ada lima perusahaan rekaman besar lain di Indonesia, yaitu Remaco, Mesra, Elshinta, dan Dimita yang ada di Jakarta. Sedangkan di luar Jakarta yang paling besar adalah Golden Hand. Masing-masing perusahaan rekaman memiliki pasar dan segmennya sendiri. Seperti Remaco (Republic Manufacturing Company) yang banyak merekam lagu dengan genre keroncong Kemayoran atau Golden Hand di Surabaya yang lebih suka merekam dangdut. Lokananta sendiri, terkait PP No. 125 Tahun 1961, lebih banyak merekam berbagai macam lagu daerah, khususnya keroncong dan langgam Jawa. Segmentasi musik pada masa itu kebanyakan sangat dipengaruhi oleh letak geografis.

Pemilihan kota Solo sebagai markas Lokananta pun merupakan cerita yang menarik. Saat itu Maladi berpikir bahwa Solo adalah pusat budaya karena dekat dengan empat kerajaan besar di Jawa yang masih eksis: Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan dan Pakualaman di Jogja. Niat awal didirikannya Lokananta memang menjadi pusat rekaman untuk lagu dan budaya Nusantara. Selain itu karena pusat RRI pada waktu itu adalah di Solo bukan di Jakarta.

“Kalau diibaratkan sumur, ini merupakan sumber budaya yang kalau digali ndak akan kering”, kata Muhadi. Sangat mungkin jika masterplan Maladi berhasil, Solo saat seperti Hilversum, sebuah kota pusat yang menjadi pusat industri media di Belanda. Idenya juga serupa, berawal dari sebuah Hilversum Radio.

Pada awalnya Lokananta tidak memiliki studio sendiri. Semua rekaman dilakukan di studio milik RRI di seluruh Indonesia. Paling banyak dilakukan di RRI Solo. Akses istimewa ini didapat karena memang Lokananta lahir sebagai perusahaan transcription service untuk mendukung kinerja RRI pada saat itu. Hasil rekaman pun pada awalnya tidak dijual untuk umum, melainkan hanya dibagikan secara terbatas untuk seluruh stasiun RRI di Indonesia. Tapi karena banyaknya permintaan pendengar RRI untuk mengoleksi album terbitan Lokananta, akhirnya pada tahun 1959 perusahaan negara di bawah Departemen Penerangan ini mulai menjual hasil piringan hitamnya secara mandiri untuk khalayak umum.

“Waktu itu pendengar RRI suka sekali sama keroncong dan lagu daerah,” kata Muhadi yang saat itu masih menjadi tenaga honorer di RRI.

Masa keemasan Lokananta, itu terjadi pada dekade 1970-1980. Saat itu Lokananta sudah beralih menggunakan kaset. Teknologi kaset diadopsi oleh Lokananta tepatnya pada tahun 1972, sedikit terlambat beberapa tahun dari perusahaan rekaman lainnya.

“Waktu itu penjualan piringan hitam menurun drastis, saat itu saya ditunjuk untuk melakukan riset pasar. Ternyata penyebabnya adalah para pembeli lebih suka format kaset daripada bertahan dengan vinyl,” kata Muhadi yang saat itu jabatannya di Lokananta adalah sebagai Manajer Produksi.

Lokananta pun berubah haluan. Muhadi ingat ini adalah perubahan yang sangat besar dalam sejarah Lokananta, dimana sebelumnya perusahaan ini memang dikhususkan sebagai perusahaan piringan hitam. Format kaset ini akhirnya direspon manis. Setiap bulan Lokananta mampu melepas 100 ribu keping kaset di pasaran. Lagu-lagu Waldjinah serta berbagai gending Jawa menjadi jaminan laku saat itu.

“Selain itu produksi kita yang pasti laris adalah murottal Al-Quran dan adzan. Pasar terbesar untuk dua jenis terakhir ini ada di Jawa Timur,” kata Muhadi.

Ternyata problem pembajakan bukan hanya masalah yang dihadapi industri musik saat ini saja. Sejak tahun 1982 Lokananta sudah berhadapan dengan para pembajak amatir. Pertama kali dicurigai karena penjualan kaset Lokananta menurun sejak saat itu. Muhadi kembali ditugaskan untuk melakukan riset pasar, akhirnya dia berhasil menemukan fakta bahwa banyak kaset Lokananta yang dibajak. Khususnya lagu-lagu populer yang banyak diminati masyarakat.

“Zaman segitu saya menghadapi 129 kasus pembajakan, itu cuma di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kami ajukan gugatan perdata di pengadilan. Saya berjuang sendiri saat itu. Kebanyakan pembajak ada di Surabaya, Malang, dan Bangkalan,” kata Muhadi.

Dia menemukan adanya hubungan antara keluarnya Indonesia dari Konvensi Berne pada tahun 1958 dengan maraknya pembajakan. “Karena kita tidak ikut aturan hak cipta internasional, maka bebas saja mencetak lagu dari luar negeri tanpa harus bayar royalti. Puncaknya adalah ketika para pembajak ini akhirnya juga membajak lagu-lagu dalam negeri. Industri musik bisa mati,” kata Muhadi.

Selain itu, budaya kolusi juga membuat munculnya banyak perusahaan rekaman bodong. “Mereka itu para desk enterpreneur yang ndak punya label dan kantor tapi bisa menerbitkan album. Aneh kan ?” kata Muhadi.

Akhirnya sebagai salah satu petinggi Lokananta, Muhadi dituntut untuk mulai belajar hukum dan seluk beluk industri rekaman. Muhadi mengatakan jika saat itu pemerintah memberikan perhatian terhadap kasus pembajakan dan mengeluarkan perundangan yang ketat, maka pembajakan tidak akan subur seperti hari ini.

“Kasus pembajakan ini persoalan klasik industri musik,” kata Muhadi.

***
Meski mengecam keras perbuatan para pembajak, tapi di sisi lain Lokananta juga tidak bisa memberikan standar yang jelas mengenai pembayaran royalti kepada artis-artisnya.

“Saya nggak tahu itung-itungannya gimana, tau-tau dikasih duit”, kata Waldjinah. Maestro keroncong ini masih terlihat kenes, meski sudah tiga tahun ini penyakit infeksi usus menggerogoti tubuhnya. Beberapa saat lalu, dirinya juga sempet jatuh terpeleset ketika mengisi sebuah acara di studio RRI Jakarta. “Masih sulit buat berdiri, sudah dua bulan ini saya nggak bisa nyanyi”.

Lahir di Solo, 7 November 1945, Waldjinah memulai karier menyanyinya sejak usia 13 tahun. “Dulu ibu saya sempat nggak setuju, dibilang mirip ledhek (wanita penghibur)”, paparnya sambil terkekeh. Debutnya adalah sebuah kompetisi kerjasama studio RRI Surakarta dan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dalam rangka promo film terbaru yang berjudul Delapan Pendjuru Angin.

Lagu wajibnya adalah lagu keroncong berjudul "Kembang Katjang" yang menjadi theme song film yang dibintangi oleh Bambang Irawan dan Chitra Dewi ini. Waldjinah, yang saat itu merupakan peserta termuda, mendapat juara satu. Dirinya kemudian mendapat gelar "Ratoe Kembang Katjang."

Tidak berselang lama, Waldjinah lalu ditawari Lokananta untuk rekaman album kompilasi Kembang Katjang bersama S. Bekti dan S. Harti yang lebih senior. Untuk diingat, menjadi artis Lokananta adalah hal yang prestisius bagi musisi saat itu. Kriterianya hanya dua, tapi justru inilah yang membuat hanya sedikit musisi yang bisa menembus.

”Cuma yang jadi juara Pemilihan Bintang Radio RRI atau yang diminta sama Lokananta”, kata Waldjinah. Tahun 1959, album Kembang Katjang dilempar ke pasaran.

Debut album penuh Waldjinah adalah album Ngelam-Ngelami rilisan tahun 1967. Album ini berisi enam lagu. Beberapa diantaranya adalah ciptaan Gesang, seperti "Ngelam-ngelami," "Andung Basuki," dan "Dadi Ati."

Sayang, dirinya tidak tahu persis berapa album yang sudah dihasilkan saat bergabung dengan Lokananta. “Saya lupa jumlahnya, udah lama sekali. Tapi ada penggemar saya dari Jepang yang muter-muter di Lokananta sama Jalan Surabaya (Menteng, Jakarta) nyari piringan hitam saya lalu dikasih ke saya. Ya belum lengkap semuanya sih” kata Waldjinah.

Jumlah pastinya akhirnya didapatkan dari sebuah penelitian milik Sukanti dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta pada tahun 2002. Total ada tiga belas album berformat piringan hitam. Sebelas album merupakan album solo Waldjinah, sisanya merupakan kompilasi dengan penyanyi lain. Sedang yang berformat kaset sejumlah empat belas album. Selain keroncong, langgam Jawa juga mendominasi.

Memang Waldjinah terkenal dengan lagu “Walang Kekek” yang direkam oleh label Elshinta pada tahun 1968, tapi Lokananta lah yang dianggap punya andil penting memoles penyanyi yang pernah berduet dengan Chrisye di lagu "Semusim" ini. Lokananta merupakan perkenalan pertamanya dengan dunia rekaman. “Waktu itu mikrofonnya cuma ada satu dan tinggi banget, saya kudu pakai dingklik (bangku kecil), yang mbero (vokal latar) waktu itu adalah pak Gesang”, kata Waldjinah.

Tahun 1965, Waldjinah mendapat gelar sebagai Bintang Radio Jenis Keroncong Tingkat nasional. Pialanya diserahkan langsung oleh Bung Karno. Ini adalah gelar yang paling berkesan diantara setumpuk penghargaan yang pernah diraihnya. “ Ini gelar pertama dan terakhir. Pertama kali saya dapat piala, terakhir kali Bung Karno yang nyerahkan piala, ujar Waldjinah. “Lokananta yang membuat saya dikenal...dan laku”, sambungnya kemudian.

Bagaimana tidak, Lokananta seakan punya penciuman yang tajam. Sesuai target pasar lagu-lagu Waldjinah, momen-momen yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jawa dimanfaatkan betul untuk berjualan album rekaman. ”Setiap Bakdha (Idul Fitri dan Idul Adha) sama musim giling tebu, Lokananta pasti bikin rekaman dan semua laku”, kata Waldjinah. Album Entit yang dirilis tahun 1971 menjadi album Waldjinah yang paling laris. Namun ketika ditanya berapa keping yang terjual, baik dari Waldjinah maupun Lokananta tidak bisa memberi jawaban yang pasti. “Saya pernah 3 bulan sekali rekaman album baru”, ujar Waldjinah seakan memberi gambaran kejayaan dirinya masa itu.

Larisnya penjualan album membuat Waldjinah ramai ditanggap di berbagai tempat, yang paling diingat adalah show di Malang pada tahun 1970. “Tempatnya indoor dan berjubel, tiba-tiba ada polisi nembak ke atas, pelurunya mental di atap lalu nyasar kena penonton. Dua mati,” kenang Waldjinah.

Sayang, karena pembajakan yang semakin menggila di medio 80-an, kerjasama Waldjinah dan Lokananta harus terhenti. Pada tahun 1983, album Entit yang dirilis ulang dalam bentuk kaset menjadi salam perpisahan bagi hubungan yang sudah terjalin selama lebih kurang 25 tahun. “Lokananta kewalahan ngadepi kaset-kaset saya yang dibajak,” ujar Waldjinah. Lokananta tidak sanggup lagi memproduksi album dari Waldjinah. Saking gemasnya, pernah dalam satu kesempatan saat di Surabaya Waldjinah sengaja memborong kaset-kasetnya yang dibajak.

Setelah tidak lagi bersama Lokananta, Waldjinah gonta-ganti label rekaman. Labelnya yang terakhir adalah PT Gema Nada Pertiwi, kontraknya berakhir pada 2006. Sejak saat itu, Waldjinah enggan untuk kembali menjajal dapur rekaman. ”Malas kalau modelnya masih jual putus, nggak jelas itung-itungannya,” kata Waldjinah.

Kini keseharian Waldjinah diisi dengan memberikan pelajaran menyanyi keroncong. Namanya “Belajar Menyanyi Keroncong”. Tempatnya di garasi rumahnya yang ada di daerah Mangkuyudan, Solo. Siapapun yang berminat bisa ambil bagian tanpa dipungut biaya. Sejak dimulai tahun 2004, semua biaya yang keluar diambil dari kocek Waldjinah sendiri.

Dua tahun belakangan, pemerintah kota Solo memberikan uang pembinaan seiring dengan dicanangkannya Solo sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 silam. Waldjinah juga menjabat sebagai ketua Himpunan Artis Keroncong Republik Indonesia (HAMKRI) untuk wilayah Solo dan sekitarnya.

Meski sudah tidak ada hubungan kerja lagi, Waldjinah tetap menganggap Lokananta sebagai titik terpenting karier musiknya. Diakui Waldjinah, studio rekaman Lokananta adalah yang terbaik. “Saya sudah pernah coba beberapa studio, tapi Lokananta tetep yang paling bagus”, katanya sambil mengacungkan ibu jari.

Ruangannya yang seluas 14x31 meter membuat tak kesulitan untuk rekaman live. “Akustiknya juga bagus sekali, mau diluar petir sedang kenceng, tetep aja suaranya gak bisa masuk,” ujar Waldjinah seraya menambahkan kualitas sound studio Lokananta juga tetap yang terbaik. “Saya tidak ingin Lokananta hilang”, kata Waldjinah, sesaat kemudian dirinya terdiam.

“Lokananta itu sebuah sejarah.”

Dalam kesempatan terpisah, artis besar Lokananta lainnya, Bubi Chen, mengatakan hal yang sama. “Rekaman di Lokananta begitu berkesan,” kata Bubi Chen. “Rekaman saya adalah rekaman jazz pertama yang dilakukan Lokananta,” kata pianis yang masuk satu dari sepuluh besar pianis jazz dunia versi majalah Downbeat ini. Lokananta dengan studionya yang besar memang memungkinkan untuk melakukan live recording, sebuah proses rekaman secara langsung karena permainan jazz yang penuh improvisasi. Oleh karena itu materi rekaman tidak direkam terpisah dalam tiap-tiap track. Saat itu nama kelompoknya adalah Bubi Chen Kwartet, salah satu anggotanya adalah Jack Lemmers, atau lebih dikenal dengan sebutan Jack Lesmana. Mereka merekam delapan buah lagu, beberapa diantaranya berjudul “Buaian Asmara” dan “Semalam”. Sayang, kover piringan hitam ini sudah hilang. Salah satu bukti bahwa Lokananta tidak memiliki standar pengarsipan yang baik.
***

Jika diibaratkan, Lokananta sekarang seperti kura-kura Galapagos. Tua, besar dan berjalan lamban. Segala kejayaan dan cerita-cerita manis seperti menguap. Sebetulnya situasi ini berawal setelah Deppen sebagai tempat bernaung Lokananta dibubarkan seiring jatuhnya Orde Baru. Lokananta sempat mengalami masa-masa vakum selama kurang lebih tiga tahun.

Aktivitas rekaman terhenti meskipun penjualan album masih berjalan. “Kami cuma rekam ulang album-album lama untuk dijual lagi”, terang Titik. Yang kena getahnya adalah koleksi piringan hitam dan kaset hasil produksi sejak tahun 1956. Arsip-arsip penting dalam sejarah perjalanan industri musik Indonesia itu praktis hanya dibiarkan teronggok berdebu di sudut gudang. Membayangkannya saja sudah membuat miris.

Keberadaan Lokananta sebagai brankas musik nasional rupanya sempat menjadi rebutan beberapa pihak. “Pemprov Jawa Tengah dan Pemkot Solo sempat berminat untuk mengelola Lokananta”, papar Pendi. Namun upaya tersebut terbentur status Lokananta sebagai BUMN. Ketidakjelasan status Lokananta akhirnya menemui titik terang pada tahun 2004. Lewat usaha Subrata, mantan Dirut Perum PNRI, status Lokananta resmi berada dibawah Perum Percetakan Negara RI. Namanya pun berubah menjadi Perum PNRI Cabang Surakarta, yang bertahan hingga sekarang.

Satu demi satu puluhan ribu piringan hitam dan kaset yang terserak ditata. Untuk menjaga jumlah koleksi, sejak tahun 2004 Lokananta tidak lagi menjual piringan hitam. Usut punya usut, rupanya a hal ini membuat sistem pengarsipan Lokananta sedikit kacau, kalau tidak mau dikatakan buruk. “Dulu, kalau satu album laris ya semuanya kita jual, ndak disisakan buat disimpan. Dulu belum berpikir kalau ini bakal jadi historical, jadi aset. Mungkin besok kaset nasibnya juga kayak gini”, kata Titik.

Jika mengingat Tahun Industri Kreatif yang didengungkan pemerintah sejak setahun silam, kisah Lokananta adalah suatu ironi. Bagaimana cikal bakal inudstri musik nasional, yang merupakan subsektor dalam industri kreatif, justru terlupakan (atau sengaja dilupakan). Perumpamannya seperti sebuah rumah besar dengan pondasi yang keropos. Padahal presiden kita saat ini punya hubungan yang erat dengan industri ini, setidaknya jika dilihat dari tiga produk industri musik yang sudah dihasilkannya.

Sampai detik ini, Lokananta tetaplah sosok tua yang sendirian. Studio besar itu tetap saja sepi dari aktivitas rekaman meski sudah ada penambahan fasilitas rekaman hingga 24 track. Studio besar yang kosong itu terus menunggu. Menanti musisi-musisi muda jenius untuk menggantikan para virtuoso alumnus Lokananta yang sayup-sayup suaranya masih bergema di dinding Lokananta, hingga hari ini.

------

Artikel ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia edisi Mei 2010 dan kembali dimuat di RollingStone.co.id dalam rangka menyambut ulang tahun Lokananta ke-56 yang jatuh pada 29 Oktober mendatang.

(RS/RS)  
sumber http://rollingstone.co.id/read/2012/10/27/145255/2073969/1100/lokananta-menyelamatkan-musik-indonesia   

Minggu, 24 Juni 2012

Surat Untuk Sang Pemimpin

Ijinkanlah saya untuk menulis sedikit,
Menuliskan sesuatu untuk Bapak ,Jika kelak Bapak membaca surat atau tulisan ini , sebelumnya saya minta maaf jika saya berlebihan dalam menulisnya.

***

Menyebut nama Bapak Jokowi ; begitu beliau biasa dipanggil , berarti kita menyebut salah satu (tokoh) pemimpin di negara kita ini. Dengan kesederhanaan dan kerendahatian beliau ; yang dilakukan Bapak Jokowi sebenarnya sangat sederhana. Menjadi Pemimpin adalah mengikhlaskan diri dalam mengabdi kepada masyarakat. Ya, sesederhana itu. Beliau memimpin daerah bukan sekedar untuk populer atau meningkatkan reputasi , tetapi untuk kesejahteraan rakyat.

Beliau memang hebat , kita membutuhkan pemimpin seperti beliau untuk membangun Tanah Air ini.
Sederhana & fleksibel. Kesederhanaan beliau bisa kita lihat salah satunya dari cara berpakaian beliau yang bisa kita bilang ; simple dan fleksibel. Soal makan pun beliau juga tidak pilih pilih harus makan yang mahal mahal dan enak.


Bersikap Terbuka. Beliau Sadar betul dengan lembaga yang dipimpinnya adalah lembaga publik, jadi harus terbuka kepada publik. Ya , memang benar , Keterbukaan inilah yang membuat Bapak Kota Solo ini dekat dengan seluruh masyarakat.

Mementingkan Kepentingan Rakyat. Ya, beliau memang hebat , kebijakan kebijakan yang beliau keluarkan adalah untuk kepentingan rakyat. Beberapa kebijakan Bapak Jokowi ini diantaranya adalah penataan PKL tanpa demo , renovasi pasar tradisional , adanya railbus , juga car free day.

Pekerja Keras. Bapak Jokowi dan Bapak Rudi (wawali) ; Bapak walikota dan Bapak wakil walikota lebih banyak bekerja dilapangan untuk menyerap aspirasi atau keinginan masyarakat , beliau berada dikantor mungkin hanya beberapa jam saja. Buktinya , Bapak kota solo ini mampu mengubah dan membangun solo menjadikan kota solo ini kota penting di indonesia – bahkan dunia.

Mengabdi Sepenuh Hati. Bapak walikota sangat tulus mengabdi kepada rakyat. Mungkin perlu kita ketahui bahwasanya Beliau (Bapak Jokowi) selama menjadi walikota , beliau belum pernah mengabil gajinya yang kisaran gaji beliau Rp 6,5 juta perbulan. Bahkan beliau tidak mengeluh lantaran gajinya sedikit. Menurut Beliau , uang tersebut lebih baik untuk orang orang yang lebih membutuhkan, karena dari usaha mebel yang beliau kelola sudah cukup untuk hidup sederhana bersama keluarga ; begitulah kerendahan hati beliau.

Pribadi Yang Bersih. Berbekal pribadi yang bersih itulah Bapak Jokowi menjalankan kepemimpinannya disolo dan sukses membawa kota Sebagai kota terbersih dari korupsi ke-3 dibawah Tegal dan Denpasar. Memberantas korupsi itu tergantung komitmen pemimpinnya, jika pemimpinnya bersih dan anak buahnya kotor, tinggal ganti bawahannya saja (Jokowi).Beliau berjalan dengan hati yang bersih , ya itulah beliau , Bapak Jokowi.
Ada Terobosan terobosan yang pernah beliau lakukan , diantaranya ; Berhasil merelokasi PKL tanpa kerusuhan , Berhasil menata dan membenahi pasar Tradisional , membawa Solo “Go To Internasional” , Menjaga Solo Kota Bersih dari Korupsi ke-3 , juga Membangkitakan Industri Otomotif dalam Negeri dengan mengangkat Mobil ‘Esemka’.

Ya , itulah Bapak Walikota Solo ; Bapak Ir Joko Widodo , dengan kesederhanaan yang menjadi ciri khas beliau , beliau beserta pemerintah kota solo bisa membenahi kota solo dan mengubah solo menjadi lebih baik.

Tantangan beliau selanjutnya adalah DKI Jakarta. Mungkin bagi beliau , jakarta adalah kota yang menantang, berbekal pengalaman dikota kota besar bahkan sampai manca negara , beliau optimis mampu menerapkan pengalamannya untuk membangun Ibukota Jakarta , jika terpilih nanti. Beliau adalah figur yang kuat , tegas , berwibawa serta terkesan lemah lembut , ya mungkin seperti beliaulah orang yang dicari Negara ini.

***

Tuhan , Kepemimpinannya bukan tentang apa yang orang orang pandang tentang beliau , tetapi tentang kebaikan dan kebahagiaan yang orang orang rasakan dari beliau.

Tuhan , mudahkanlah beliau agar kebaikan kebaikan beliau selalu terpancar pada setiap orang. Jika kebaikan kebaikan dari beliau pantas Engkau ganti dengan pahala , berikanlah pahala melebihi kebaikan kebaikan beliau.

Tuhan , jika Engkau berkenan dan Engkau mengijinkan beliau memimpin DKI, berikanlah kekuatan pada beliau untuk menjadikan tanah air ini lebih baik , jagalah kebaikan kebaikan beliau agar terhindar dari lubang yang dapat menjatuhkan beliau dalam kepemimpinan.

Bapak Jokowi , mungkin ini sedikit apresiasi saya tentang bapak. Maafkan saya telah menulis ini , karena sesungguhnya kami mendukung bapak agar suatu saat – entah kapan bapak tetap akan menjadi seorang pemimpin yang dapat dicontoh di negara ini dan menjadikan negara ini menjadi lebih baik.

amiennn_____

sumber; http://www.facebook.com/
notes/fatta-yasin-m/bapak-jokowi-the-real-leader/10150642105611298

Senin, 18 Juni 2012

Kutipan Riwayat Kahlil Gibran

Di tengah situasi politik yang sedang menghangat kini, ada baiknya kita rehat sejenak ya…agar hati lebih sejuk, nyaman dan tenang, mari kita berbicara, menyimak dan larut sedikit ke dalam keindahan cinta yang dilukiskan melalui sastra.
Ketika suatu cinta sudah tertanam dan bersenandung dalam relung hati dan kedalaman jiwa kita, tak terelakkan raga kita akan turut larut pula dalam alur cinta yang menguasai diri kita tersebut. Di antara keriuhan yang bergemuruh dalam sukma itu, peran karya sastra akan terasa penting dalam meng-ejawantah-kan segala sesuatu yang mengaliri darah kita. Hal ini juga sebagaimana direfleksikan oleh seorang Kahlil Gibran sebagai seorang penyair, pelukis, filofof besar dunia. Cinta serta kegalauan yang demikian itu cukup banyak tersirat dan tersurat dalam berbagai jenis karya sastra yang telah Gibran ciptakan. Dimulai dari karangan puisinya, logat pemikirannya dan gaya lukisannya, sampai kepada sikap, perilaku kehidupan pribadinya.
Sebelum lebih jauh kita mendalami bara cinta dalam seorang Kahlil Gibran, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu siapa dia, sehingga mampu melahirkan berbagai karya yang sedemikian hebat dan memikat. Karya-karyanya dapat kita baca dan nikmati sampai kini, tak lekang oleh waktu dan dimakan zaman. Seolah-olah bara cinta yang Gibran tuangkan dalam sebentuk sastra tiada pernah padam.
Kahlil Gibran lahir pada tanggal 06 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove-semak cedar berduri yang suci-di tepianWadi Qodisha-lembah kudus atau lembah suci-dalam sebuah kota Beshari, Lebanon. Gibran terlahir dari seorang ibu yang merupakan anak dari seorang pendeta bernama Istiphan Rahmah. Kamilah-nama ibu Kahlil Gibran-ketika menikah dengan ayahnya Kahlil Gibran sudah mempunyai seorang putra yang bernama Boutros, hasil dari perkawinannya yang pertama dengan Hanna Abdes-Salaam Rahmah.
Kahlil Gibran mempunyai dua orang adik perempuan, dan satu kakak tiri laki-laki. Sekitar rahun 1885 adik perempuan pertama Gibran terlahir, bernama Miriana, disusul dua tahun kemudian adik perempuannya yang kedua terlahir pula bernama Sulthanah. Kurang delapan tahun setelah Sultanah terlahir, pada tahun 1895, keluarga Gibran berimigrasi ke Amerika Serikat dan menetap di Cina Town, Boston. Sementara ayahnya tidak turut serta dan memilih tetap tinggal di Libanon. Baru sekitar 1897 Gibran kembali lagi ke Libanon.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, Gibran mengikuti kursus yang cukup intensif di sekolah Al-Hikmah Libanon. Gibran mempelajari berbagai macam mata pelajaran di luar kurikulum sekolah, Kahlil Gibran cenderung lebih memilih membenamkan dirinya ke dalam kesusastraan Arab, baik yang kuno maupun yang modern. Salah satu keseriusan Gibran dalam menggeluti kesusastraan Arab adalah dengan aktif menggiatkan munculnya kesusastraan kontemporer Arab.
Dua tahun setelah Gibran berada di Libanon, saat datangnya liburan musim panas di Beshari, Gibran mengalami jatuh cinta yang cukup serius dengan serang perempuan muda yang cantik bernama Selma, putri dari salah seorang teman terdekat ayahnya. Gibran menggambarkan kisah cintanya itu dalam bentuk semi otobiografi yang berjudul Al-‘Ajnihah Al-Mutakassirah-The Broken Wings (Sayap-sayap patah).
Buku karya Kahlil Gibran yang sangat popular tersebut, ditulisnya pada musim gugur ketika dalam perjalanannya kembali ke Boston. Kali ini Kahlil Gibran sebelum ke tujuan utamanya yaitu Boston, melewati kota Paris terlebih dahulu untuk sekedar melihat keindahan dan berbagai keunikan, keberagaman karya seni kota Paris.
Dalam salah satu filosofinya Gibran mengungkapkan dalam bahasa kepuitisannya bahwa; “Setiap kecantikan atau pun keagungan di dunia ini dihasilkan berkat pemikiran atau perasaan dalam diri manusia. Segala sesuatu yang dibuat generasi terdahulu yang kita lihat kini sebelumnya merupakan pikiran dalam otak laki-laki atau getar perasaan dalam hati perempuan.”
Pemikiran yang berdasarkan cinta, selalu Gibran dengungkan melalui setiap berbagai karyanya. Ungkapan di atas merupakan wujud cinta yang Gibran paparkan. Di sana Gibran mencoba mengungkap cinta yang terlahir antara cintanya seorang laki-laki yang lebih mengedepankan logika dari otaknya. Sedangkan cinta seorang perempuan lebih banyak menyodorkan tentang perasaan, nurani dan nalurinya untuk meraba hasrat cinta.
       Beberapa tahun kemudian Gibran kembali lagi ke Libanon sebagai pemandu jalan/wisata yang sekaligus sebagai penerjemah bagi satu keluarga Amerika. Pada saat itu pula tahun1902, Gibran mendengar berita kematian adiknya Sulthanah dan sakit keras yang menimpa ibunya, sehingga Gibran segera kembali lagi ke Boston untuk menjenguk keluarganya. Di tahun berikutnya, pada bulan Maret 1903 kakak tirinya, Boutros meninggal dunia, yang tiga bulan kemudian disusul oleh kematian ibunya. Keluarga Gibran meninggal akibat tuberkolosis, sehingga di Boston Gibran tinggal berdua saja dengan adiknya Miriana.
             Keseriusan Gibran dalam bidang seni yang ditunjang pula oleh bakat alamnya yang besar, menarik perhatian seorang fotografer ternama kala itu, Fred Holland Day, yang menjadi pendukung pertama. Pada Januari 1904 Gibran mengadakan pameran lukisan pertamanya disertai dengan gambar dirinya. Pameran itu sendiri diadakan di studionya Fred Holland Day.
            Dalam pameran yang kedua, yang diadakan bulan Februari, Gibran membuka pamerannya di Cambridge School, yang merupakan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki dan dikelola langsung oleh Mary Haskell. Mary Haskell adalah teman terdekat Gibran yang berperan juga sebagai pelindung dan sponsornya dalam setiap kegiatan kesusastraanya.
Di Cambridge School, Gibran berjumpa dengan seorang perempuan muda yang cukup impulsive dan terbilang sangat cantik berasal dari Perancis, bernama Emilie Michel, yang di kalangan teman-temannya dipanggil Micheline. Gibran sempat jatuh cinta pada perempuan tersebut. Berikut ungkapan cinta mistik Gibran ;
“Wahai yang diungkapkan jiwa dan yang disembunyikan oleh malam…wahai roh yang indah, yang melayang-layang di langit mimpiku, engkau telah melewatiku seperti hembusan angin, membawakan bagi diriku yang lapar wewangian bunga syurga; engkau telah menyentuh inderaku dan membuatnya gelisah serta bergetar seperti dedaunan. Izinkanlah aku melihatmu sekarang kalau engkau manusia, atau perintahkanlah tidur untuk menatap mataku agar aku dapat melihat kebesaranmu lewat bathinku. Izinkanlah aku menyentuhmu; izinkanlah aku mendengar suaramu. Singkapkanlah selubung yang menutupi keseluruhan maksudku, dan hancurkanlah dinding yang menyembunyikan keilahianku dari mataku, lalu pasanglah sepasang sayap pada diriku agar aku bisa terbang di belakangmu menuju ruang-ruang alam semesta yang tinggi. Atau sihirlah mataku agar aku dapat mengikutimu menuju penyergapan Jin kalau engkau adalah salah seorang mempelai wanita mereka. Kalau aku layak, letakkanlah tanganmu pada hatiku dan kuasailah hatiku.”
Sebenarnya ungkapan di atas bukanlah pernyataan Gibran tentang cintanya pada seorang perempuan yang berasal dari Perancis tersebut, atau pastinya tidak ada kaitannya dan hubungannya dengan kejatuh hatianya saat di Cambridge School. Hal ini hanya merupakan senandung cinta Gibran yang sedikit berbau/beraroma mistik, dan sengaja saya petikkan untuk para pembaca, mengingat kedalaman imajinasinya Gibran akan sebuah cinta.
Gibran pun pernah menjalin hubungan cinta yang sastrawi dengan seorang penulis Libanon yang tinggal di Mesir, bernama May Zaidah. Jenis hubungan ini sangat unik pada masanya, karena sebuah perkenalan dan cinta yang hanya lewat surat-menyurat dan berlangsung kurang lebih selama dua puluh tahun. Hakikat yang mereka peroleh sebenarnya semacam suatu keintiman dan harmoni pemahaman yang langka, yang hanya mampu diputuskan oleh kematian Gibran.
Telah banyak karya tulis yang sudah Gibran bukukan dan diterbitkan, di antaranya yang paling popular adalah : Sang Nabi (The Prophet), Sayap-sayap Patah (Al-‘Ajinhah Al-Mutakassirah-The Broken Wings), Yesus Anak Manusia (Jesus the Son of Man). Yang disebut terakhir ini adalah karyanya yang terpanjang dan fenomenal, karena ditulis oleh Gibran yang notabene masih mempunyai garis keturunan dari pendeta Nasrani.
Kahlil Gibran meninggal dunia pada hari Jum’at 10 April 1931 di St. Vincent Hospital, New York, setelah sakit berat dan berlangsung cukup lama. Gibran meninggal dunia akibat terkena sirosis hati dengan tuberkolosis awal dalam sebelah paru-parunya. Sebelum meninggal Gibran sempat menulis dua buah buku sastra, Wonderer (Peziarah) yang sudah diselesaikannya, dan baru diterbitkan pada tahun 1932 setelah Gibran tiada. Sedangkan satunya lagi, Garden of The Prophet (Taman Sang Nabi) yang belum selesai sepenuhnya ditulis oleh Gibran, sehingga dalam garapannya dilengkapi oleh Barbara Young, penyair Amerika yang pernah menemani Gibran selama tujuh tahun terakhir. Karya tersebut baru beredar sekitar tahun1933.
sumber info;  http://filsafat.kompasiana.com/2009/06/22/kahlil-gibran-sang-maestro/

Kemiskinan yang Kreatif

              Kalau anda tinggal di perkampungan atau di perkomplekkan pasti anda pernah melihat seseorang sedang mengayuh becak yang berhiaskan boneka-boneka berbentuk hewan, orang-orang mengenalnya dengan sebutan “odong-odong“. “Odong-odong” ini menawarkan jasa berkeliling komplek atau kampung untuk balita dan anak-anak kecil.
Bagi anda yang suka wisata kuliner pasti banyak nama makananyang terkesan aneh atau lucu yang baru anda tahu 3-4 tahun belakangan ini dengan maksud untuk menarik para tamu.
Belum lama ini mahasiswa IPB menjalankan bisnis yang unik yaitu membuat boneka dengan serbuk kayu yang dibubuhi bibit rumput dikepala boneka sehingga rumput yang dijadikan rambut pada boneka itu dapat tumbuh panjang dan dapat dipangkas pula.
Banyak pula para pelaku bisnis rumahan yang membuat tas dari bungkus makanan kecil anak-anak atau mendaur ulang sampah sehingga memiliki nilai jual.
Maraknya Pengadaan pasar malam yang menjajakan berbagai barang mulai dari pakaian sampai sayur-sayuran serta wahana hiburan dan mainan seperti di Dunia Fantasi.
Mewabahnya distro (distribution Store) di seluruh pelosok negeri ini.
Menjamurnya Rental Play Station dan lainnya…….
         Hal diatas merupakan sekelumit contoh dari dinamika ekonomi masyarakat Indonesia setelah dilanda krisis moneter tahun 1997. Saat itu banyak industri maupun pelaku bisnis yang kolaps bahkan ada yang menutup usahanya akibat krisis tersebut. Akan tetapi sebagai makhluk hidup yang butuh makan, pakaian dan kebutuhan lainnya, akhirnya memaksa mereka memutar otak bagaimana caranya agar tetap bertahan hidup dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini mengingatkan saya kepada awala mula berkembang pesatnya ekonomi China yang sedikit banyak terangkum dalam sebuah  buku “China Inc.”.
Dari situ timbulah ide kreatif yang diaplikasikan pada dunia usaha dan bisnis, Kemiskinan yang menghantui masyarakat kita membuat mereka menjadi kreatif untuk terjun di dunia usaha dan bisnis. Setidaknya selain dampak buruk yang diakibatkan krisis, kita dapat mengambil hikmah atau manfaaat karena dengan dampak dari krisis tersebut yang telah memaksa kita untuk memeras otak dan tenaga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup menjadi kreatif dalam melakukan aktifitas ekonomi.
Saya dan mungkin juga anda yakin bahwa Indonesia sebentar lagi (harapan) akan bangkit dari keterpurukan ekonomi asalkan kita mau berusaha untuk itu semua. Kemiskinan saat ini merupakan awal dari kemakmuran nantinya.
Ingat, Dunia itu berputar, begitu pula kehidupan. Adakalanya kita dibawah dan adakalanya kita diatas……
NuruL
Sumber info; http://sosbud.kompasiana.com/2009/05/06/kemiskinan-yang-kreatif/

Kamis, 26 April 2012

Sang Maestro Gesang Akan Dijadikan Nama Jalan

Addthis

Pemerintah Kota Surakarta berencana mengabadikan nama Gesang Martohartono menjadi nama jalan. Hal itu sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa seniman keroncong tersebut. "Rencananya jalan di timur Museum Radya Pustaka di kawasan Sriwedari akan diganti jadi Jalan Gesang," jelas Wakil Wali Kota Surakarta Hadi Rudyatmo kepada wartawan, Jumat (21/5). Saat ini jalan yang dimaksud Hadi bernama Jalan Museum. Selain penggantian nama jalan, di sepanjang jalan tersebut akan ditata seperti kawasan Ngarsopuro, yaitu dijadikan ruang publik. Setelah ditata, kemudian dipergunakan untuk aktivitas keroncong.

"Dulu di kawasan itu banyak seniman keroncong yang beraktivitas, baik menyanyi atau yang lainnya," ujarnya. Upaya tersebut dikatakannya sebagai wujud nyata dalam mewujudkan cita-cita Gesang untuk kembali menghidupkan musik keroncong.
Dia juga berencana menggairahkan kembali aktivitas di Sanggar Gesang yang terletak di kompleks Taman Satwa Taru Jurug. "Namun semua rencana tersebut tergantung persetujuan Dewan," tukasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta Supriyanto mengatakan mendukung rencana di atas. Menurutnya, sosok Gesang layak diabadikan jadi nama jalan karena jasanya sangat besar.

"Apa yang sudah dilakukan Gesang sangat membanggakan, tidak hanya bagi Surakarta, tapi untuk Indonesia," ucapnya. Dia meminta pemkot segera mengajukan usul resmi ke Dewan. Karena sudah ada persetujuan lisan, Supriyanto menjamin prosesnya tidak akan lama. "Proses administrasinya singkat."
Terkait Taman Gesang, dia mengatakan dalam peraturan daerah tentang pengelolaan Jurug yang sudah disahkan anggota Dewan, disebutkan bahwa grand desain pengelolaan jurug oleh investor atau pihak ketiga harus turut melestarikan apa yang sudah ada di dalamnya. "Termasuk Taman Gesang," ucapnya.
Karenanya, dia optimistis Taman Gesang nantinya akan lebih terpelihara dan bermanfaat bagi masyarakat. Sumber: pp tmpointeraktif

Napak Tilas Kraton Kasunanan Surakarta




Karaton Surakarta Hadiningrat
Sejak 17 Februari 1745, Susuhunan Pakubuwono II dan keluarganya telah menduduki istana baru atau kraton terletak di sepanjang tepi Sungai Solo, sungai terpanjang di Jawa. Kraton mantan Kartosuro (10 km sebelah barat Solo) telah ditinggalkan karena kerusakan parah. Bukan kraton yang tepat untuk Susuhunan (raja) lagi, setelah dijarah pada 1742 oleh penjajah. Paku Buwono II dengan seluruh keluarganya dan bawahan membuat prosesi hari yang panjang kerajaan dari Kartosuro ke Surakarta. Kota Surakarta dapat dengan mudah terhubung ke timur pusat utama Jawa pesisir seperti Gresik, Tuban Bengawan (sungai) Solo. Ini 'sungai koneksi' adalah salah satu alasan untuk memindahkan istana ke Solo. Sarana Pakubuwono 'pusat dunia' (paku: paku, Buwono: dunia).
Raja duduk di kereta kerajaan, Kyai Grudo dikawal oleh pejabat tinggi, tentara, pembawa regalia, membawa Pusaka (pusaka) dan hal penting lainnya yang akan digunakan dalam istana barunya. Konvoi juga mencakup suci gamelan , (Banyan) waringin pohon, kuda, gajah dan ruang pengrawit Bangsal khusus. Setelah tiba di kraton baru, ia mengumumkan bahwa mulai hari ini ibu kota kerajaan itu Surokarto Hadiningrat (suro: berani, gagah berani - Karto: makmur - Hadi: besar, berharga - tikus: negara).
Datang dari sisi utara Jalan Slamet Riyadi melalui jalan (Gladak), seorang pengunjung tiba di Alun-Alun Utara (Alun-alun Lor). Di tengah-tengah Alun-alun, ada dua waringins (Banyan) pohon melambangkan perlindungan dan keadilan.

Tahta aula Sasono Semowo atau pagelaran menghadapi alun-alun. Di masa lalu, itu dari aula ini, Susuhunan atau raja disampaikan pijat dan menerima laporan dari pemerintah yang dibacakan Patih Nya (menteri). Jauh di selatan, beberapa langkah ke atas, ada Siti Hinggil (tanah tinggi) di mana upacara Garebeg dimulai (dalam artikel terpisah: garabeg di Solo dan Jogya).

Melewati gapura utama atau kori dari Brajanala (Braja: ray - Nala: perasaan) satu memasuki Baluwerti benteng di Kemandungan persegi. Masukkan ke Sri Manganti, di mana kita harus menunggu penonton dengan raja. Dan ada adalah lokasi utama yang disebut KADATON. Di tengah adalah tahta utama aula Sasono Sewoko, tempat raja menerima ketaatan dari keluarga istananya dan bawahan. Ini juga merupakan tempat ia berlatih meditasi (samadi). Ada Pendopo kecil (aula) yang disebut pringgitan, dimana wayang kulit (wayang kulit) melakukan dari waktu ke waktu. Selanjutnya Sasono Sewoko adalah Sasono Handorowino mana perjamuan kerajaan diberikan.

Meninggalkan Kadaton ke selatan, ada pengadilan Magangan, di mana pejabat pengadilan memasuki tempat suci sepanjang rute ini. Ada sebuah paviliun meditasi bagi pangeran. Ada meteorit suci di tepi belakang kolam. Dari sini ke selatan, melewati gerbang atau kori Brojonolo Selatan, maka Sitinggil Kidul, salah satu tiba di Alun-alun Selatan (Alun-Alun Kidul) gajah Istana dan kerbau merumput di sini di hari tua. Karena keberadaan gajah dengan batang gading, tempat ini dikenal sebagai GADING (Ivory).
Mengambil pelajaran dari Kartosuro Istana, yang mudah diserang oleh musuh, Surakarta baru Istana diperkaya itu sendiri.
Jadi, Alun-Alun juga dimaksudkan untuk menjadi medan pertempuran untuk melawan setiap serangan. Baterai Beberapa tentara dipasang di Pagelaran dan di depannya (= Gelar pembentukan pasukan; Pagelaran = tempat di mana taktik pertempuran yang memutuskan). Rute mengelilingi Alun-Alun disebut Supit Urang (Supit-penjepit; Urang = kepiting), melambangkan sebuah taktik untuk mengalahkan penyusup.
Cadangan (tentara) diadakan di alun-alun Kamandungan, Sri Manganti adalah tempat istirahat.
Dalam Baluarti, ada nasi - lumbung, gudang senjata dan gudang amunisi, dan kandang untuk kuda-kuda dari kavaleri dan pasukan khusus pengawal raja (Tamtomo). Istana ini juga merupakan tempat makna spiritual yang tinggi iman Jawa kuno. Karena ada tujuh tangga dan tujuh gerbang di Candi Borobudur, ada juga tujuh kotak di Solo Palace:
1. Pamuraan Njawi
2. Pamuraan Nglebet
3. Alun-Alun Lor
4. Sitinggil
5. Kamandungan
6. Sri Manganti
7. Plataran
Dan Tujuh Gates (Gapuros):
1. Gladag
2. Gapuro Pamuraan
3. Kori Wijil
4. Kori Brojonolo
5. Kori Kamandungaan
6. Kori Mangun
7. Kori Manganti
Ada Panggung Songgobuwono (Panggung-menara; songgo-untuk mendukung; Buwono dunia) di Baluarti, sebuah menara dengan bentuk segi delapan. Beberapa percaya bahwa itu adalah tempat di mana Sri Sunan (nama populer untuk raja) melanjutkan tradisi leluhurnya untuk bertemu dengan Dewi Laut Selatan (Kanjeng Ratu Kidul) setidaknya pada hari ulang tahun penobatannya. Barat Kedaton, ada tempat yang disebut Mantenan, di mana ada Bandengan, sebuah kolam ikan dengan ikan gurameh dan kura-kura (simbol panjang usia hidup). Di masa lalu, Sri Sunan menyampaikan ajaran filosofi hidup dan dibersihkan pusaka-Nya. Di tempat tinggi yang dia lakukan meditasi dan ada masjid - Pudyosono (tempat beribadah).
Karaton Surakarta sebagai salah satu benteng budaya Jawa dibuka setiap hari yang akan dipuja oleh pengunjung. Ia memiliki museum dan galeri seni di mana beberapa koleksi berharga yang dipamerkan, seperti keris (belati), topeng, wayang kulit, dll Saat ini, Raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono adalah Sri XII.
Seni, Budaya, Ritual dan Informasi Lainnya dari Karaton Surakarta Hadiningrat
Media Karaton Surakarta (MEKAS) , sebuah 'buletin' bulanan yang diterbitkan oleh Yayasan Pawiyatan Karaton Surakarta Kabudayaan
(Suryo S. Negoro)
 http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.joglosemar.co.id/surakarta.html
 

Kamis, 29 Maret 2012

Dimana kau penguasa____

wahai penguasa dimana kau berada
dengarkanlah jerit tangis kami
apa kabarmu disana
apakah pernah kau dengar kabar kami
bila surya pagi datang kau pun lari menghilang
bila rembulan menjelang tuan berkeliaran
ku teriakan suaraku sekencang_kencangnya
di depan pelataran megah istanamu
agar sedikit kau terpikirkan aku yang terdampar
terdampar di keterasingan dalam belenggumu
ohh penguasa beri aku belas kasihmu
liriklah kami yang terbuai janji pahit mulutmu
butakah mata dan hatimu,
atau sengaja kau topengi buruk mukamu agar tak kulihat celahmu
kini tak lama lagi kau akan segera membunuh kami
dengan kuasa murka lidahmu berucap
tembak aku dengan beribu peluru bejatmu, aku agar ku lebih cepat mati
daripada kau sengsarakan dan siksa raga batin kami
kau pantas kami sebut BINATANG BERAKAL_______
@chlz pro rakdjat

Kamis, 22 Maret 2012

Bercermin Toleransi Dari kelenteng

Judul dan subtansi tulisan ini terinsfirasi oleh hasil laporan bedah buku Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir karya Trias Kuncahyono, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Kompas di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang dimuat di Harian Kompas Biro Jawa Barat, Jumat (5/12) tentang indahnya keragaman dan pentingnya toleransi yang mulai terkikis dari kehidupan keseharian antarumat beragama di Nusantara ini.
Di akui atau tidak kemerdekaan, keadilan, dan sikap keterbukaan menjadi barang langka di Bumi Pertiwi. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Mengerikan memang.
Mampukah kehadiran Imlek (1 Imlek 2560) yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 kita akan mendapatkan pengalaman (sikap keberagamaan) yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil dan pengakui perbedaan keyakinan (sekte, madzab, denominasi, aliran) untuk tumbuh dan berkembangnya dialog intra religius.
Junjung Nilai Nabi Kongzu
Salah satu pelajaran berhaga yang bisa kita petik dengan adanya pergantian tahun China ini adalah Kelenteng. Pasalnya, dari tempat ibadah ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keragaman.
Semula pra di cabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid Kelenteng selalu di identikan dengan Vihara (Budha). Kini, tidak lagi. Bahkan masyarakat keturunan China pun dengan leluasa dapat bersembahyang di depan Altar Langit (Thian Than) Sang Nabi.
Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjungjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut.
Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 sM).  Kala itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam. Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 sM.  Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.
Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 sM. Itulah sebabnya Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi.  Jika sekarang Kalender Masehi bertahunkan 2009, maka Kalender Imlek bertahunkan 2009+551=2560.  Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara. Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).
Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4) /Zhong Yong, “Maka gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan, yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak menjunjung dan mencintaiNya.” (www.matakin-indonesia.org)
Dalam kontek Jawa Barat, terdapat sekitar 100 Kelenteng yang tersebar di Kabupaten/Kota. Vihara Satya Budhi (Yayasan Satya Budhi) merupakan Kelenteng tertua dan terbesar di Bandung yang dibangun pada tahun 1885, Jalan Klenteng No. 2, 23 A Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas, 15/01)
Kunci Perdamaian
Tibanya Imlek bagi umat Khonghucu harus menjadi momentum lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Juga Menjadi lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.
Sekali lagi, perilaku toleran itu terlihat saat praktik Ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan sahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih baik lagi.
Menurut Muhammad Dawam Rahardjo dalam buku Demi Toleransi, Demi Pluralisme (2007) toleransi merupakan kunci perdamain dan kedamaian, kunci dari persamaan serta kunci proresifitas. Toleransi bukan berarti lemah dalam agama. Bahkan dengan toleransi dapat dipahami keyakinan orang lain lebih baik tanpa harus percaya.
Toleransi erat kaitanya dengan pluralisme. Melalui pluralisme kita bisa saling memahami. Saya berbeda pendapat, keyakinan, pemahaman dengan orang lain tanpa harus memusuhi. Baginya, dalam pelbagai diskusi yang dilakukan dengan banyak orang Ia merasa bahwa banyak temen-temen yang takut dengan pluralisme. Seolah-olah pluralisme sebuah ancaman atau menempatkan diri dalam dunia ancaman. Tetapi pengalaman saya tidak.Justru pluralisme dan toleransi membuat saya lebih damai.
Inilah pelajaran berharga dari Kelenteng bagi dialog intra religius. Kiranya, sabda Kongzi pun layak kita dengungkan “Bila suatu kali engkau menjadi baru maka tetaplah jaga agar engkau senantiasa baru (Da Xue II, 1) dan Gan Yan/Yan Yuan, bertanya bagaimana mengatur pemerintahan. Nabi bersabda, “Pakailah penanggalan Dinasti He” Kitab Lun Gi/Lun Yu,XV :11).
Sungguh perkataan Nabi Khongcu–yang di dalam seluruh hidupnya mencurahkan perhatian sebagai upaya mense sejahterakan dan membahagiaan rakyat. Sanagtlah wajar bila Ia bersabda kepada Gan Hwee/Yan Hui, tentang pemerintahan yang baik dianjurkan menggunakan penanggalan Dinasti He. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Indonesia. Selamat Hari Raya Imlek 2560/2009. Gong XI Fa Cai.
* IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.
sumber info; http://filsafat.kompasiana.com/2009/01/24/bercermin-toleransi-dari-kelenteng/

Senin, 05 Maret 2012

sejarah Mobil di Jalan Politik

Mobil di Jalan Politik Indonesia *)

Kabar itu datang dari Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo ingin mengendarai mobil bermerek Kiat Esemka hasil rakitan para siswa di Solo sebagai mobil dinas. Pilihan ini hendak menunjukkan adab politik. Pesan Joko Widodo eksplisit: mobil dinas tak mesti mahal dan mewah. Joko Widodo justru memilih mobil seharga Rp 95 juta itu sebagai ejawantah kebersahajaan politik dan penghormatan terhadap keringat kaum muda dalam menggerakkan impian teknologi. Adab politik ini adalah tanda seru bagi mentalitas para elite politik saat mendefinisikan mobil sebagai arogansi, sikap gila hormat, hedonisme.

Sejarah (adab) politik di Indonesia memang identik dengan alat transportasi modern: kereta api, sepeda motor, mobil. Arus politik di awal abad XX dipengaruhi oleh mobil dan biografi elite politik. Mobil pun menjelma menjadi tanda kekuasaan. Pembangunan jalan-jalan di pelbagai kota menjadi panggung kekuasaan. Elite politik mengendarai mobil sebagai prosedur percepatan gerak, mobilitas gagasan, dramatisasi ideologi, semaian “kemadjoean”. Mobil-mobil melintasi jalan sebagai benda ajaib alias sihir modernitas. Mobil mengandaikan ada resapan rasionalitas modern akibat kausalitas kolonialisme-kapitalisme. Kehadiran mobil-mobil di Hindia Belanda adalah berkah-imperatif untuk laju politik (modern) dan arus deras narasi kapitalisme.

Kita bisa membuka halaman-halaman biografi Adam Malik berjudul Mengabdi Republik (1978). Modernisasi di Pematang Siantar (Sumatera Timur) mengakibatkan derita kaum kuli dan kemunculan golongan elite. Industri perkebunan oleh kolonial dan elite lokal mengubah Pematang Siantar menjadi “Tanah Dolar”. Adam Malik menganggap kondisi itu mempengaruhi usaha perdagangan si ayah. Keluarga Adam Malik pun moncer sebagai keluarga elite. Adam Malik mengingat: “… pada tahun 1928, satu-satunya orang di seluruh Pematang Siantar yang mempunyai mobil sedan Buick adalah ayah saya. Kekayaan dan kedudukan beliau cukup banyak dan tinggi untuk termasuk ‘golongan elite’ di antara seluruh penduduk kota itu.” Mobil kentara menjadi representasi kelas sosial elite dan menandai afirmasi gagasan modern di negeri jajahan.

Mobil dalam biografi Adam Malik menandai laju ekonomi-politik di Sumatera. Mobil mengandung makna pembedaan nasib, puja modernitas, eksistensi elite. Kisah di Sumatera itu berbeda dengan pengisahan Ahmad Soebardjo saat kuliah dan menggerakkan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1920-an). Otobiografi Ahmad Soebardjo berjudul Kesadaran Nasional (1978) mengenang babak historis saat mendapati ilham tentang perlambang pergerakan nasionalisme. Ilham itu mengacu ke mobil. Adegan menatap mobil justru menjadi titik mula manifestasi gerakan nasionalisme Indonesia.

Alkisah, Perhimpunan Indonesia diundang untuk mengikuti Kongres Mahasiswa Kristen di Driebergen (Belanda). Sultan Hamengku Buwono XVII juga ikut datang ke kongres. Adegan dramatis terjadi saat Sultan Hamengku Buwono XVII bergerak ke tempat acara mengendarai mobil dengan iringan panitia. Rombongan Ahmad Soebardjo tepat ada di belakang mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Ahmad Soebardjo mengenang bahwa, saat memandang mobil Sultan Hamengku Buwono XVII, tampak ada bendera berlambang “gula kelapa” khas Yogyakarta. Konon, bendera bersejarah itu warisan dari para penguasa Majapahit.

Ahmad Soebardjo menatap bendera merah-putih itu dengan takjub. Bendera itu mengundang memori perlambang politik bagi pribumi di Nusantara. Warna merah berarti keberanian, dan warna putih berarti kesucian. Peristiwa dramatis itu diingat oleh Ahmad Soebardjo dalam sederet kalimat: “Begitulah, timbul dalam pikiran saya, menjadikan merah-putih sebagai lambang yang hidup bagi himpunan mahasiswa kami, dalam bentuk lencana dari perhimpunan.” Ilham itu kelak disepakati dalam rapat Perhimpunan Indonesia dengan penambahan gambar kepala kerbau di tengah merah-putih. Ilham politik itu mengikutkan narasi mobil.

Dua kisah mobil dalam biografi Adam Malik dan Ahmad Soebardjo turut menentukan pengertian-pengertian kita tentang mobil dalam arus (sejarah) politik Indonesia. Kapitalisme perkebunan telah melahirkan elite. Kelas ini memaknai diri dalam bingkai ekonomi-politik di masa kolonialisme dengan mobil. Kita juga mendapati jejak-jejak historis perlambang merah-putih sebagai manifestasi nasionalisme saat Ahmad Soebardjo mendapati ilham di mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Barangkali ini dua cerita kecil untuk Indonesia, meski jarang tercantum di buku besar sejarah. Mobil memang menandai lakon kolonialisme-kapitalisme dan modernitas, tapi bisa ditafsirkan dalam bingkai nasionalisme, “kemadjoean”, dan adab politik.

Mobil adalah juru bicara arus modernitas di Indonesia. Rudolf Mrazek (2006) mengabarkan ada 51.615 mobil di Hindia Belanda pada tahun 1938. Indonesia melaju dengan mobil. Angka ini lekas melonjak fantastis saat abad XXI diartikan sebagai “zaman mobil”. Jalan macet, dilema parkir, nafsu konsumerisme, arogansi politik, puja hedonisme seolah jadi narasi mobil di Indonesia. Mobil telah merepotkan Indonesia. Mobil telah mengangkut pengertian politik kotor karena mobil dijadikan ikon korupsi. Mobil juga telah mengisahkan keruntuhan etika publik dari kalangan elite dan parlemen. Para elite dan kaum borjuis mengoleksi mobil sebagai ritus hedonisme. Mobil adalah ironi Indonesia.


Semua lakon mobil itu mendapat imbuhan dari simbolisme politik mobil ala Joko Widodo. Mobil itu representasi adab politik. Joko Widodo hendak mengucapkan kebersahajaan dalam menjalankan amanah rakyat tanpa kegenitan dan kemewahan. Eksistensi diri sebagai pejabat diartikan sebagai acuan “meladeni” dan “mengerti”. Simbolisme mobil ala Joko Widodo pun mengejek ulah elite politik di Indonesia. Mobil-mobil mahal para elite politik adalah kemubaziran uang rakyat. Laju kencang mobil para pejabat di jalan adalah kesombongan dan teror politik. Semua ini ditampik oleh adab politik ala Joko Widodo. Mobil justru mengandung arti kebersahajaan, kepatutan, dedikasi, integritas demi misi meladeni rakyat. Begitu.

*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
sumber informasi http://www.tempo.co/read/kolom/2012/01/11/510/Mobil-di-Jalan-Politik-Indonesia-

Minggu, 26 Februari 2012

Sang Legendaris Gesang

Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang mampu menjadi legenda di masyarakat. Satu dari sedikit itu ialah maestro keroncong asal Solo, Jawa Tengah, bernama Gesang Martohartono, pencipta Bengawan Solo.

Sebuah lagu keroncong yang menyeberangi lautan. Lagu yang sangat digemari di Jepang. Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Lagu yang telah menjembati pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia. Tak banyak pula dari penyanyi atau pemusik Indonesia yang mampu bertahan hingga usia 85 tahun. Gesang bahkan telah membuktikan bahwa dalam usianya yang ke-85 tahun masih mampu merekam suaranya.

Menyebut kekaguman terhadap Gesang sebagai sebuah legenda.

Bukan hanya masyarakat Jepang yang mengagumi Gesang. Nama Gesang dengan Bengawan Solo-nya juga cukup dikenal pula di daratan Tiongkok. Dalam kaitannya dengan itu, ia menyebut jasa Bung Karno yang pada masa lalu sering membawa misi kesenian ke RRC, Vietnam, dan negara Asia Tenggara yang lain.

Berikut petikan syair lagu Bengawan Solo

Bengawan Solo, riwayatmu ini

Sedari dulu jadi perhatian insani

Musim kemarau, tak seberapa airmu

Di musim hujan air meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo

Terkurung gunung seribu

Air mengalir sampai jauh

Akhirnya ke laut

Itu perahu, riwayatmu dulu

Kaum pedagang s’lalu naik itu perahu

Lagu Bengawan Solo yang berlanggam keroncong itu sangat terkenal di Jepang. Orang Jepang langsung tahu bila kita menyebut “Bengawan Solo” karena sudah sejak lama mereka kenal. Terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut, mendengar lagu ini menimbulkan perasaan nostalgia.

Demikianlah, melalui Bengawan Solo yang digubah oleh Gesang, telah tumbuh pertukaran yang bersejarah antarrakyat Jepang dan Indonesia.

Lagu Bengawan Solo masuk ke Jepang untuk pertama kali sekitar setengah abad yang lalu di kala masa perang. Pada waktu tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, lagu itulah yang terdengar dari radio secara luas di kalangan serdadu Jepang serta orang-orang yang berada di Indonesia.

Seusai perang, berkat para tentara Jepang dan orang-orang perusahaan dagang Jepang yang pulang kembali ke negerinya, lagu tersebut kerap terpelihara eksistensinya. Bahkan lagu Bengawan Solo dengan syair dalam bahasa Jepang menjadi sangat populer. Konon orang-orang di Jawa yang mendengar lagu itu merasakan ketenangan hati serta nostalgia, mengingatkan mereka akan masa mudanya karena melodi lagu serupa dengan lagu rakyat Jepang.

Melalui Gesang dan musik keroncong, orang menjadi sadar bahwa musik adalah sesuatu yang mutlak perlu bagi persahabatan dan perdamaian dunia.

Lebih-lebih lagi, berkat kerendahan hati Pak Gesang, kepribadiannya telah membawa keakraban dan kehangatan bagi orang Jepang. Berkat kunjungannya ke Jepang, keroncong telah mengalami boom secara diam-diam.

Lagu merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Lagu Bengawan Solo, yang melintasi batas negara dan memperkaya hati manusia, telah menjembatani pertukaran kebudayaan pada akar rumput antara Jepang dan Indonesia.

sumber informasi

Jumat, 10 Februari 2012

Friendship Never Ends

Sabtu 28 Februari 2009 kemarin.. Putra Pertiwi School menyelenggarakan Putra Pertiwi Preformance.

Lansekap panggung, gambarkan betapa tema "Friendship Never Ends" nyata mem-Bumi.
Lansekap panggung, gambarkan betapa tema "Friendship Never Ends" nyata mem-Bumi.

Temanya: “Friendship Never Ends“. 
Tema yang nyata sudah diterapkan sehari-hari di Sekolah dimaksud, dari tingkat Play Group hingga tingkat SMP.. sejauh pengamatan saya pribadi sedari pertama datang amati kondisi & situasi Sekolah, sebelum memutuskan memilih & mendaftarkan Sekolah bagi Buah Hati kami Devondha, sebelum kami berangkat ke Surabaya, jalani kepindahan sementara lantaran pindah tugas sementaranya sang Suami ke sana, akhir 2007 lalu.
Setelah berada di dalamnya, menjadi bagian dari Sekolah, semakin kaya Sekolah tersebut di mata Hati & benak saya. Hal yang juga dirasakan sama oleh semua Orang Tua murid yang saya temui di kantin, di halaman parkir, di dalam rapat Orang Tua Murid, termasuk dalam rapat internal Parent Teacher Association (PTA).
[Andai pun ada satu dua keluhan, masih di batas kewajaran. Sejauh yang saya ketahui,  akan langsung ditindaklanjuti pihak Sekolah, Managemen, maupun Yayasan, tergantung bidang permasalahannya. Kebetulan saya sendiri sedang diberi amanah sebagai koordinator PTA  tingkat Play Group & Kindergarten Class di tingkat Pusat, bersama SD & SMP. Yang karenanya menjadi lebih mengenal dekat dan sedikit lebih paham.]
Putra Pertiwi School. Sekolah, di mana Bocah-Bocah Play Group & Kindergarten Class aman (permisi) melintas di tengah lapangan yang sedang digunakan bermain sepak bola oleh sebagian Siswa SD, maupun saat Siswa SMP sedang asik bermain basket, di lain waktu. Tanpa komando, sang Kakak selalu akan langsung hentikan permainannya, begitu melihat ada Adik-nya yang mendekat, hendak lewati arena, menuju lokasi bermain berpagar, yang letaknya di seberang area lapangan tempat mereka bermain bola dimaksud. Dengan sigap, mereka spontan membimbing para Adik.. tanpa disuruh.. persis tampilan ideal bagaimana sang Kakak mendampingi sang Adik Kandung, penuh Kasih & Sayang.
Devondha..“, “..morning, Tante..“, dua sapaan manis spontan mereka (sambil bergegas meraih tangan saya.. menempelkannya di dahi mereka andai posisi mereka dekat dengan saya), setiap mereka berpapasan dengan saya yang sedang tergopoh-gopoh tanpa menoleh menuntun sang Buah Hati ke lapangan khusus grade-nya, tiap pagi..
Sebuah keramahan yang jarang di era sekarang. Terlebih di lingkungan Megapolitan Jakarta. Sungguh mampu getarkan hati saya, sejak pertama dulu. Begitu menyejukkan sukma.
Saya yakini itu, sebab bukan baru sekali saja saya, karena sesuatu dan lain hal bertandang ke satu dua Sekolah yang lain di Wilayah Jakarta dan sekitarnya.. dapati keramahan & kesejukan menjadi hal yang MAHAL. Para Siswa.. sang Cikal Negeri umumnya bersikap acuh tak acuh terhadap kami yang sedang bertamu ke Sekolah. Antar Siswa pun terlihat saling tidak ramah.. kecuali terhadap rekan sekelompoknya sendiri..
Meski begitu, saya pun tahu.. masih ada banyak Sekolah lain yang bisa dicontoh kerukunan, keramahan,  & kesejukannya, selain Putra Pertiwi School. [Benar, Bapak Guru Wijaya Kusumah-Labs?]
Atas kondisi kondusif internal Sekolah yang nyata diterapkan, para Siswa pun merasa sungguh berharga & diterima.. yang pada gilirannya dapat berkembang optimal di setiap keunikannya.
Masih terngiang di telinga saya, catatan prestasi & penghargaan berstandard jelas bagi para Siswa, baik di tingkat Jabodetabek maupun Nasional yang berhasil di raih, dalam 1 bulan terakhir. Juara I lomba Design Poster, juara I Story Telling, juara I & III Reading News.. seperti yang diutarakan sang Ibu Direktur SD saat membuka Acara, kemarin. Membanggakan. Belum lagi prestasi-prestasi lain di beragam bidang yang rutin diraih, di bulan-bulan sebelumnya.
Tiba-tiba melintas di benak.. kisah menggelikan hati saya, ketika beberapa Bunda “mengeluh” ke saya lantaran : ..
- sang Buah Hati tetap ngotot berangkat ke kelas Play Group-nya, di hari Sabtu & Minggu.. hari libur Sekolah. [..padahal di hari awal sekolah dulu menangis keras minta pulang..]
- sang Buah Hati berkeras tetap berangkat ke Sekolah, meski sedang demam di awal terjangkit Influenza..
- sang Buah Hati tidak mau cepat pulang. Meski sang Bunda telah letih menanti dirinya, yang masih saja asik belajar & bermain di ruang Kindergarten A, kelasnya.. bersama satu dua teman, usai habis jam belajar formalnya.
- sang Buah Hati bergegas minta segera diantarkan ke Sekolah pada jam 11.. meski jadual kesepakatan berkumpul di Sekolah untuk acara Out Bond “OSIS” SD ke Puncak-nya baru akan dimulai pada jam 1 siang. Setibanya di Sekolah, sang Buah Hati asik bercengkerama dengan rekan-rekannya yang juga sudah hadir, sementara sang Bunda cemberut, meski sejujurnya ikut senang..
- sang Buah Hati menangis di pelukan Bunda-nya, lantaran lupa.. hari itu ada tambahan pelajaran. Menyesal, tidak membawa buku pelajaran dimaksud.
Juga,
suatu hari, di ruang meeting internal antar Penanggung jawab Yayasan, Managemen, para Direktur, dan PTA Pusat..  sang Kepala Sekolah terbata-bata utarakan keterbatasan ini itu satu dua Siswa ke forum.. gambarkan betapa seluruh diri para Guru sungguh menyatu dengan prosesi internal para Siswa, satu demi satu.
Di forum formal itu, kami, para perwakilan Orang Tua dalam PTA pun bisa merasakan energi indahnya. Kami sama-sama menitikkan air mata.
..plus segudang kisah lain, menyejukkan hati saya.
Betapa di hari ini masih ada kondisi aman & menentramkan bagi geliat kuat tumbuh kembang Putera/i kita.. sang Cikal Penerus Bangsa ini.

Para Siswa mengawali Acara, menyambut kehadiran Hadirin, dengan drumband..
Para Siswa mengawali Acara, menyambut kehadiran Hadirin, dengan drumband..


..Kindergarten A menyambut Hadirin, dengan tari Jamuran..
..Kindergarten A menyambut Hadirin, dengan tari Jamuran..


imgp5966
..Kindergarten B.. Modern Dances.


..para siswa SD, di sela Drama "Sherina PP School version"..
..para siswa SD, di sela Drama "Sherina PP School version"..



..siswa SMP tunjukkan salah satu kebisaan mereka.. Ciatt..!!
..siswa SMP tunjukkan salah satu kebisaan mereka.. Ciatt..!!


..Devondha & his best friends.. Kindergarten A.. usai pentas tampilkan "Butterfly dances", di sela "Sherina Drama"..
..Devondha & his best friends.. Kindergarten A.. usai pentas tampilkan "Butterfly dances", di sela "Sherina Drama"..


.."Friendship Never Ends"
.."Friendship Never Ends"



.."Friendship Never Ends", too..
.."Friendship Never Ends", too..



..deret boneka di salah satu Ruang di Kindergarten Class A.. beragam warna, berjejer rapi, sejajar. Sama berharganya. Seperti setiap Insan unik sama derajatnya, sama berharganya..
..deret boneka di salah satu Ruang di Kindergarten Class A.. beragam warna, berjejer rapi, sejajar. Sama berharganya. Seperti setiap Insan unik sama derajatnya, sama berharganya..


Ini, sebagian kecil dari deret acara yang digelar di lapangan tengah Sekolah.. lokasi (biasanya) sang Kakak Kelas hentikan segera permainan bolanya, bergegas menggandeng lengan kecil sang Adik Kelas,  membimbingnya perlahan ke Play Ground-nya, di seberang Lapangan.
..berderet acara demi acara yang dipersembahkan olah SELURUH Siswa tanpa kecuali.. sekelompok demi sekelompok sesuai tema.. dari jam 8:30 pagi.. hingga sekitar jam 15:00 siang, kemarin.. diselingi pembagian door price & tampilan salah satu guest star dari luar Sekolah.
Berikut ini puisi by J. Caesarian Musa & Nadia Coglitore, dua dari antara Siswa/i SMP Putra Pertiwi:
FRIENDSHIP NEVER ENDS
You’re a true friend, that I want you to know, our love for each other, has helped us to grow. We’ve been through some tough times, but we’ve made it through, the only one I ever trusted was you.
You helped me through anger.. You’ve chased away fears.. You held me through sadness, and kissed away tears.
You stayed by my side.. when the world turned away. You helped me see joy.. when the skies were all gray..
You were the rainbow.. at the end the storm. You held my hand, when you knew we would fall every heartache. You saw me through it all.
I’m not sure, I’m always the best friend to you. I know I’m not perfect.. But this much is true.
When life gets you down.. and there’s nowhere to turn.. I’ll help you through and I’ll share your concern.
I’ll try my best to return every favor.. when you’re sure that you’ll drown. Then I’ll be your lifesaver, even if we both go down.
When we sink or swim.. doesn’t matter at all.. Just know that I’ll be there whenever you call.
I’ll be the sun when there’s lightning and thunder.
And when it’s all over.. and we’ve fought every war.. there’s one thing I promise.. of this I sure.. when the time comes. That we’re put to our rest.. Be sure that you know that. My friend, you’re the best.
And if there is heaven, then I know you’ll be there. That if you die first.. then you’ll hear every prayer.. and soon I’ll join you. But just know until then.. that I’ll miss you each day.. ’til I see you again.
At the end of the tunnel.. You’ll be my guiding light.. You’ll lead me to heaven.. away from the night.
We’ll be there together.. and we’ll never grow old.. and we’ll walk hand in hand.. on the streets paved of gold. Our friendship never ends.
INDAH. Menyejukkan sukma.
Andai saja itu sungguh membumi di semua Insan di Bumi.. betapa DAMAI-lah sang Bumi..
Bagaimana menurutmu, Sahabat?

sumber;  http://edukasi.kompasiana.com/2009/03/01/friendship-never-ends/

Entri Populer