rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Kamis, 29 Maret 2012

Dimana kau penguasa____

wahai penguasa dimana kau berada
dengarkanlah jerit tangis kami
apa kabarmu disana
apakah pernah kau dengar kabar kami
bila surya pagi datang kau pun lari menghilang
bila rembulan menjelang tuan berkeliaran
ku teriakan suaraku sekencang_kencangnya
di depan pelataran megah istanamu
agar sedikit kau terpikirkan aku yang terdampar
terdampar di keterasingan dalam belenggumu
ohh penguasa beri aku belas kasihmu
liriklah kami yang terbuai janji pahit mulutmu
butakah mata dan hatimu,
atau sengaja kau topengi buruk mukamu agar tak kulihat celahmu
kini tak lama lagi kau akan segera membunuh kami
dengan kuasa murka lidahmu berucap
tembak aku dengan beribu peluru bejatmu, aku agar ku lebih cepat mati
daripada kau sengsarakan dan siksa raga batin kami
kau pantas kami sebut BINATANG BERAKAL_______
@chlz pro rakdjat

Kamis, 22 Maret 2012

Bercermin Toleransi Dari kelenteng

Judul dan subtansi tulisan ini terinsfirasi oleh hasil laporan bedah buku Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir karya Trias Kuncahyono, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Kompas di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang dimuat di Harian Kompas Biro Jawa Barat, Jumat (5/12) tentang indahnya keragaman dan pentingnya toleransi yang mulai terkikis dari kehidupan keseharian antarumat beragama di Nusantara ini.
Di akui atau tidak kemerdekaan, keadilan, dan sikap keterbukaan menjadi barang langka di Bumi Pertiwi. Urusan keimanan saja pemerintah masih ikut mencampurinya. Mengerikan memang.
Mampukah kehadiran Imlek (1 Imlek 2560) yang jatuh pada tanggal 26 Januari 2009 kita akan mendapatkan pengalaman (sikap keberagamaan) yang terbuka, ramah, toleran, inklusif, adil dan pengakui perbedaan keyakinan (sekte, madzab, denominasi, aliran) untuk tumbuh dan berkembangnya dialog intra religius.
Junjung Nilai Nabi Kongzu
Salah satu pelajaran berhaga yang bisa kita petik dengan adanya pergantian tahun China ini adalah Kelenteng. Pasalnya, dari tempat ibadah ini terpancar sikap keterbukaan, toleransi, dan keragaman.
Semula pra di cabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 477/74054/BA.01.2/4683/95 oleh Presiden Abdurrahman Wahid Kelenteng selalu di identikan dengan Vihara (Budha). Kini, tidak lagi. Bahkan masyarakat keturunan China pun dengan leluasa dapat bersembahyang di depan Altar Langit (Thian Than) Sang Nabi.
Sebutan Tri Dharma (Tiga Ajaran Kebajikan) pun melekat pada tempat peribadatan Tionghoa sekaligus upaya memelihara, menjungjung nilai-nilai ajaran yang telah disampaikan oleh Kongzu. Lepas dari apakah mereka dikategoritan agama Budha, Tao atau Konghucu. Yang jelas mereka keturunan Konzi dan harus memelihara sekaligus menyebarluaskan ajaran kebaikan dan kebijaksanaan tersebut.
Adalah Kongzi, Khongcu atau Confucius hidup pada jaman Dinasti Zhou (551-479 sM).  Kala itu, ia menganjurkan agar Dinasti Zhou kembali menggunakan Kalender Xia, sebab tahun barunya jatuh pada musim semi, sehingga cocok dijadikan pedoman bercocok tanam. Namun nasihat ini baru dilaksanakan Han Wu Di dari Dinasti Han (140-86 sM) pada 104 sM.  Semenjak itulah Kalender Xia dipakai. Kini dikenal dengan sebagai Kalender Imlek.
Upaya penghormatan kepada Kongzi, perhitungan tahun pertama Kalender Imlek ditetapkan oleh Han Wu Di dihitung sejak kelahiran Kongzi, yaitu sejak tahun 551 sM. Itulah sebabnya Kalender Imlek lebih awal 551 tahun ketimbang Kalender Masehi.  Jika sekarang Kalender Masehi bertahunkan 2009, maka Kalender Imlek bertahunkan 2009+551=2560.  Pada saat bersamaan agama Khonghucu (Ru Jiao) ditetapkan Han Wu Di sebagai agama negara. Sejak saat itu penanggalan Imlek juga dikenal sebagai Kongli (Penanggalan Kongzi).
Kebaikan Nabi Kongzi tu, termaktub dalam Kitab Tiong Yong (XXX : 4) /Zhong Yong, “Maka gema namanya meliput seluruh Tiongkok, terberita sampai ke tempat Bangsa Ban/Man, dan Bek/Mo, sampai kemana saja perahu dan kereta dapat mencapainya, tenaga manusia dapat menempuhnya, yang dinaungi langit, yang didukung bumi, yang disinari matahari dan bulan, yang ditimpa salju dan embun, semua makhluk yang berdarah dan bernafas, tiada yang tidak menjunjung dan mencintaiNya.” (www.matakin-indonesia.org)
Dalam kontek Jawa Barat, terdapat sekitar 100 Kelenteng yang tersebar di Kabupaten/Kota. Vihara Satya Budhi (Yayasan Satya Budhi) merupakan Kelenteng tertua dan terbesar di Bandung yang dibangun pada tahun 1885, Jalan Klenteng No. 2, 23 A Kota Bandung, Jawa Barat. (Kompas, 15/01)
Kunci Perdamaian
Tibanya Imlek bagi umat Khonghucu harus menjadi momentum lambang semangat perjuangan dan kemenangan di dalam berusaha membina kehidupan agamanya. Juga Menjadi lambang persaudaraan di antara umat Ji Kau/Ru Jiao, Hud Kau/Fo Jiao, dan Too Kau/Dao Jiao.
Sekali lagi, perilaku toleran itu terlihat saat praktik Ibadah di Altar Langit (Thian Than) Kelenteng Tri Dharma. Memang indah dan sahdu. Seakan-akan perbedaan keyakinan (Budha, Tao, Konghucu) menjadi modal dasar dalam membangun kehidupan yang lebih baik lagi.
Menurut Muhammad Dawam Rahardjo dalam buku Demi Toleransi, Demi Pluralisme (2007) toleransi merupakan kunci perdamain dan kedamaian, kunci dari persamaan serta kunci proresifitas. Toleransi bukan berarti lemah dalam agama. Bahkan dengan toleransi dapat dipahami keyakinan orang lain lebih baik tanpa harus percaya.
Toleransi erat kaitanya dengan pluralisme. Melalui pluralisme kita bisa saling memahami. Saya berbeda pendapat, keyakinan, pemahaman dengan orang lain tanpa harus memusuhi. Baginya, dalam pelbagai diskusi yang dilakukan dengan banyak orang Ia merasa bahwa banyak temen-temen yang takut dengan pluralisme. Seolah-olah pluralisme sebuah ancaman atau menempatkan diri dalam dunia ancaman. Tetapi pengalaman saya tidak.Justru pluralisme dan toleransi membuat saya lebih damai.
Inilah pelajaran berharga dari Kelenteng bagi dialog intra religius. Kiranya, sabda Kongzi pun layak kita dengungkan “Bila suatu kali engkau menjadi baru maka tetaplah jaga agar engkau senantiasa baru (Da Xue II, 1) dan Gan Yan/Yan Yuan, bertanya bagaimana mengatur pemerintahan. Nabi bersabda, “Pakailah penanggalan Dinasti He” Kitab Lun Gi/Lun Yu,XV :11).
Sungguh perkataan Nabi Khongcu–yang di dalam seluruh hidupnya mencurahkan perhatian sebagai upaya mense sejahterakan dan membahagiaan rakyat. Sanagtlah wajar bila Ia bersabda kepada Gan Hwee/Yan Hui, tentang pemerintahan yang baik dianjurkan menggunakan penanggalan Dinasti He. Semoga keindahan dalam perbedaan mewujud di Indonesia. Selamat Hari Raya Imlek 2560/2009. Gong XI Fa Cai.
* IBN GHIFARIE, Pegiat Studi Agama-Agama dan Pemerhati Kebebasan Beragama.
sumber info; http://filsafat.kompasiana.com/2009/01/24/bercermin-toleransi-dari-kelenteng/

Senin, 05 Maret 2012

sejarah Mobil di Jalan Politik

Mobil di Jalan Politik Indonesia *)

Kabar itu datang dari Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo selaku Wali Kota Solo ingin mengendarai mobil bermerek Kiat Esemka hasil rakitan para siswa di Solo sebagai mobil dinas. Pilihan ini hendak menunjukkan adab politik. Pesan Joko Widodo eksplisit: mobil dinas tak mesti mahal dan mewah. Joko Widodo justru memilih mobil seharga Rp 95 juta itu sebagai ejawantah kebersahajaan politik dan penghormatan terhadap keringat kaum muda dalam menggerakkan impian teknologi. Adab politik ini adalah tanda seru bagi mentalitas para elite politik saat mendefinisikan mobil sebagai arogansi, sikap gila hormat, hedonisme.

Sejarah (adab) politik di Indonesia memang identik dengan alat transportasi modern: kereta api, sepeda motor, mobil. Arus politik di awal abad XX dipengaruhi oleh mobil dan biografi elite politik. Mobil pun menjelma menjadi tanda kekuasaan. Pembangunan jalan-jalan di pelbagai kota menjadi panggung kekuasaan. Elite politik mengendarai mobil sebagai prosedur percepatan gerak, mobilitas gagasan, dramatisasi ideologi, semaian “kemadjoean”. Mobil-mobil melintasi jalan sebagai benda ajaib alias sihir modernitas. Mobil mengandaikan ada resapan rasionalitas modern akibat kausalitas kolonialisme-kapitalisme. Kehadiran mobil-mobil di Hindia Belanda adalah berkah-imperatif untuk laju politik (modern) dan arus deras narasi kapitalisme.

Kita bisa membuka halaman-halaman biografi Adam Malik berjudul Mengabdi Republik (1978). Modernisasi di Pematang Siantar (Sumatera Timur) mengakibatkan derita kaum kuli dan kemunculan golongan elite. Industri perkebunan oleh kolonial dan elite lokal mengubah Pematang Siantar menjadi “Tanah Dolar”. Adam Malik menganggap kondisi itu mempengaruhi usaha perdagangan si ayah. Keluarga Adam Malik pun moncer sebagai keluarga elite. Adam Malik mengingat: “… pada tahun 1928, satu-satunya orang di seluruh Pematang Siantar yang mempunyai mobil sedan Buick adalah ayah saya. Kekayaan dan kedudukan beliau cukup banyak dan tinggi untuk termasuk ‘golongan elite’ di antara seluruh penduduk kota itu.” Mobil kentara menjadi representasi kelas sosial elite dan menandai afirmasi gagasan modern di negeri jajahan.

Mobil dalam biografi Adam Malik menandai laju ekonomi-politik di Sumatera. Mobil mengandung makna pembedaan nasib, puja modernitas, eksistensi elite. Kisah di Sumatera itu berbeda dengan pengisahan Ahmad Soebardjo saat kuliah dan menggerakkan Perhimpunan Indonesia di Belanda (1920-an). Otobiografi Ahmad Soebardjo berjudul Kesadaran Nasional (1978) mengenang babak historis saat mendapati ilham tentang perlambang pergerakan nasionalisme. Ilham itu mengacu ke mobil. Adegan menatap mobil justru menjadi titik mula manifestasi gerakan nasionalisme Indonesia.

Alkisah, Perhimpunan Indonesia diundang untuk mengikuti Kongres Mahasiswa Kristen di Driebergen (Belanda). Sultan Hamengku Buwono XVII juga ikut datang ke kongres. Adegan dramatis terjadi saat Sultan Hamengku Buwono XVII bergerak ke tempat acara mengendarai mobil dengan iringan panitia. Rombongan Ahmad Soebardjo tepat ada di belakang mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Ahmad Soebardjo mengenang bahwa, saat memandang mobil Sultan Hamengku Buwono XVII, tampak ada bendera berlambang “gula kelapa” khas Yogyakarta. Konon, bendera bersejarah itu warisan dari para penguasa Majapahit.

Ahmad Soebardjo menatap bendera merah-putih itu dengan takjub. Bendera itu mengundang memori perlambang politik bagi pribumi di Nusantara. Warna merah berarti keberanian, dan warna putih berarti kesucian. Peristiwa dramatis itu diingat oleh Ahmad Soebardjo dalam sederet kalimat: “Begitulah, timbul dalam pikiran saya, menjadikan merah-putih sebagai lambang yang hidup bagi himpunan mahasiswa kami, dalam bentuk lencana dari perhimpunan.” Ilham itu kelak disepakati dalam rapat Perhimpunan Indonesia dengan penambahan gambar kepala kerbau di tengah merah-putih. Ilham politik itu mengikutkan narasi mobil.

Dua kisah mobil dalam biografi Adam Malik dan Ahmad Soebardjo turut menentukan pengertian-pengertian kita tentang mobil dalam arus (sejarah) politik Indonesia. Kapitalisme perkebunan telah melahirkan elite. Kelas ini memaknai diri dalam bingkai ekonomi-politik di masa kolonialisme dengan mobil. Kita juga mendapati jejak-jejak historis perlambang merah-putih sebagai manifestasi nasionalisme saat Ahmad Soebardjo mendapati ilham di mobil Sultan Hamengku Buwono XVIII. Barangkali ini dua cerita kecil untuk Indonesia, meski jarang tercantum di buku besar sejarah. Mobil memang menandai lakon kolonialisme-kapitalisme dan modernitas, tapi bisa ditafsirkan dalam bingkai nasionalisme, “kemadjoean”, dan adab politik.

Mobil adalah juru bicara arus modernitas di Indonesia. Rudolf Mrazek (2006) mengabarkan ada 51.615 mobil di Hindia Belanda pada tahun 1938. Indonesia melaju dengan mobil. Angka ini lekas melonjak fantastis saat abad XXI diartikan sebagai “zaman mobil”. Jalan macet, dilema parkir, nafsu konsumerisme, arogansi politik, puja hedonisme seolah jadi narasi mobil di Indonesia. Mobil telah merepotkan Indonesia. Mobil telah mengangkut pengertian politik kotor karena mobil dijadikan ikon korupsi. Mobil juga telah mengisahkan keruntuhan etika publik dari kalangan elite dan parlemen. Para elite dan kaum borjuis mengoleksi mobil sebagai ritus hedonisme. Mobil adalah ironi Indonesia.


Semua lakon mobil itu mendapat imbuhan dari simbolisme politik mobil ala Joko Widodo. Mobil itu representasi adab politik. Joko Widodo hendak mengucapkan kebersahajaan dalam menjalankan amanah rakyat tanpa kegenitan dan kemewahan. Eksistensi diri sebagai pejabat diartikan sebagai acuan “meladeni” dan “mengerti”. Simbolisme mobil ala Joko Widodo pun mengejek ulah elite politik di Indonesia. Mobil-mobil mahal para elite politik adalah kemubaziran uang rakyat. Laju kencang mobil para pejabat di jalan adalah kesombongan dan teror politik. Semua ini ditampik oleh adab politik ala Joko Widodo. Mobil justru mengandung arti kebersahajaan, kepatutan, dedikasi, integritas demi misi meladeni rakyat. Begitu.

*) Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
sumber informasi http://www.tempo.co/read/kolom/2012/01/11/510/Mobil-di-Jalan-Politik-Indonesia-

Entri Populer