rasa di dada

rasa di dada
chelistyo

imajinasimu

Kamis, 06 Januari 2011

apa "rasa sakit" itu???



Untuk apa sebenarnya rasa sakit diciptakan?

Mereka yang pernah membaca The Da Vinci Code-nya Dan Brown, mungkin akan ingat sebaris kalimat aneh perihal kesakitan: “Rasa sakit itu baik, Monsieur.” Pada bagian pembuka dari buku yang diklaim telah “memukau nalar” dan “mengguncang iman” itu, kalimat yang bernada mengerikan itu diucapkan Silas, seorang lelaki albino bertubuh besar, pada Jacques Saunière, kurator Museum Louvre, Prancis.

Saat mengucapkan kalimat itu, Silas telah menembak Saunière tepat pada perutnya. Saunière tidak serta merta mati dan Silas tahu itu, tapi tak melakukan apa-apa. Sebab, si albino mengerti: setelah lima belas menit peluru melukai Saunière, sang kurator akan mati. Kematian Saunière akan menjadi ajal yang perlahan-lahan merayap diiringi rasa sakit yang mengerikan. Setelah lambungnya tertembus pelor, asam-asam lambung Saunière akan pelan-pelan menembus rongga dadanya. Pada saat itu terjadi, ia akan meninggalkan dunia karena keracunan organnya sendiri—sebuah cara menemu ajal yang ganjil sekaligus menggidikkan.

Silas, sang pembunuh itu, adalah anggota Opus Dei, sebuah sekte Katolik yang dikenal amat taat menjalankan ajaran sekaligus kontroversial. Salah satu kontroversi kelompok itu, barangkali berasal dari pandangan mereka soal rasa sakit. Seperti yang dengan dingin diucapkan Silas pada orang yang dibunuhnya, kelompok itu—seperti kita baca dalam The Da Vinci Code—memang “menyukai” rasa sakit. Rasa sakit adalah sebentuk kebaikan, dan oleh karenanya, manusia membutuhkannya.

Itulah kenapa kebanyakan anggota Opus Dei yang militan menggunakan sebuah sabuk berduri bernama cilice, yang dikenakan pada paha. Cilice merupakan pengikat yang terbuat dari kulit, ditaburi mata kail dari metal tajam yang secara tanpa ampun akan menancap ke daging tatkala dipakai. Anggota-anggota Opus Dei yang militan biasa menggunakan peralatan itu sebagai pengingat yang tak henti akan penderitaan Kristus. Selain sebagai pengingat akan kesakitan, pemakaian cilice juga membuat pemakaianya kehilangan nafsu jasmaniah mereka—sesuatu yang mungkin juga hendak disingkiri oleh Opus Dei.

Pada hari ketika ia membunuh Saunière, Silas mengenakan cilice lebih lama dari waktu yang seharusnya dengan tujuan “membersihkan diri”. Sebagai umat agama yang taat, Silas pasti mafhum bahwa membunuh adalah sebuah perbuatan yang “mengotori” sehingga mereka yang berbuat dosa seperti itu mesti melakukan “pembersihan diri”. Pembersihan diri itu, dalam ajaran Opus Dei, adalah dengan merasakan sakit lebih lama dari yang biasa. Itulah kenapa, selepas menunaikan tugas pembunuhan itu, Silas mencambuki punggungnya sendiri hingga darah mengucur, dan kesakitan merayapinya.

Sambil memanjatkan doa, saya bayangkan Silas mencambuki punggungnya sambil terus mengucapkan “mantra sakti” yang diperkenalkan Jose Maria Escrivá, pendiri Opus Dei dan penulis Buku The Way yang mengandung intisari ajaran sekte itu: “Sakit itu baik.”
***

Pada sekira abad 16, di Turki yang kala itu masih di bawah kuasa Kesultanan Utsmaniyah, rasa sakit adalah bagian integral dari proses pendidikan para calon seniman lukis. Dipukul, ditampar, dan berbagai bentuk tindakan kasar lainnya merupakan sesuatu yang mesti dijalani anak-anak kecil yang belajar magang di bengekel seni istana. Kesalahan kecil yang dibuat anak-anak lucu itu akan dibalas dengan kekerasan yang mungkin menjijikkan dari para guru dan empu mereka.

Di bagian agak akhir My Name is Red, Orhan Pamuk mengisahkan bagaimana seorang calon murid magang yang pulang ke rumah dan gentar hendak kembali ke bengkel seni istana karena pukulan dan kekasaran lainnya. Pada bagian ini, dengan sebuah penuturan yang agak mengharukan, Pamuk—melalui sudut pandang sang anak yang telah dewasa dan menjadi seorang empu—mengisahkan bagaimana rasa sakit harus ditanggapi. Melalui nasihat ibunya, sang anak kemudian belajar menghadapi kekasaran, dan pada akhirnya, menerima kesakitan sebagai bagian dari proses penempaan dirinya menjadi seorang empu.

“Ada dua jenis manusia di dunia ini,” begitu saya bayangkan sang ibu menasihati anaknya. Yang pertama adalah mereka yang takut pada pukulan masa kecil mereka. Manusia jenis ini, akan selamanya tertindas, selamanya jirih di hadapan tindak kekerasan yang membuat mereka trauma. Yang kedua, mereka yang lebih beruntung karena, meski mereka tak pernah bisa melupakan pukulan-pukulan dan rasa sakit yang diakibatkannya, pukulan-pukulan itu akan melecut mereka lebih pandai mengenali berbagai muslihat yang direncanakan terhadapnya.

Menerima rasa sakit, mengingatnya, tapi tidak terpenjara karenanya. Ini sebuah pernyataan yang mudah diucapkan, tapi sulit diaplikasikan. Saya berkata demikian karena selama beberapa hari belakangan, saya menyaksikan seorang yang amat dekat dengan saya, tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit, dan sesekali mesti menanggung kesakitan-kesakitan yang tak selamanya bisa dijelaskan dan dipahami “fungsinya” secara rasional, atau bahkan, filsafati—seperti Silas memahami rasa sakit, misalnya. Tiap kali khasiat obat yang diminumnya habis, dia—seseorang yang saya tunggui itu—mengerang-erang merasai kepalanya yang diserang rasa sakit yang mungkin parah.

Saat semua itu terjadi, saya hanya akan diam, kadang teringat Silas, kadang teringat Pamuk, namun tak tahu harus bagaimana. Kemudian, saya paham bahwa yang bisa kita lakukan, mereka yang berada di hadapan seorang yang tengah merasai sakit, hanyalah berusaha menolongnya dengan penghiburan, doa, atau memanggil juru rawat. Lalu kita mungkin akan selamanya ingat Tuhan, kematian, dan juga kehidupan pasca-dunia.

Pada sore hari dalam “masa menunggui” itu, tatkala langit sedang cerah dan matahari perlahan-lahan tenggelam, saya sering keluar ke balkon kamar rumah sakit—kamar itu ada di lantai tiga sebuah gedung, tempat yang cukup untuk kita, manusia yang rendah ini, berimajinasi seolah posisi kita cukup dekat dengan langit yang tinggi—menyaksikan awan-awan yang putih kebiruan berpadu dengan semburat senja yang kemerahan sekaligus kekuningan. Keindahan yang luar biasa namun berlangsung sekejap itu, sama misteriusnya dengan rasa sakit: sama-sama tak bisa kita jangkau dengan baik. Kita hanya memandangnya dengan gentar sekaligus takjub, gemetar sekaligus tak mengerti.

Akhirnya saya tahu, pada momen melihat kesakitan itu, kehendak untuk bertindak-menolong kadang ditelikung oleh kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang lemah sekaligus daif. Dan pemahaman soal rasa sakit menjadi sesuatu yang makin kabur, menjauh, meski tahu bahwa sosoknya ada di hadapan kita, tepat di pelupuk mata kita yang berair.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer